Tiga Belas

12 0 0
                                    

#Tiga Belas

Sebenarnya tidak ada hal yang aneh saat melihat dua orang saling bercengkerama dan tertawa lebar. Apalagi berpasangan --cewek dan cowok-- di kafe yang memang menjadi tongkrongan anak muda hits di daerahnya. Lagi pula, jika dilihat lebih jelas, mereka tampak seperti sepasang kekasih. Seperti kebanyakan pengunjung kafe ini, mereka juga tampak mengobrol ringan, sesekali tertawa lalu sama-sama mendengungkan lagu jazz yang dinyanyikan salah satu band indie yang kebetulan hari ini tampil di kafe tersebut.

Memang tidak aneh seharusnya. Hanya saja, yang membuat mereka tampak tak bisa mengalihkan pandangan mereka adalah tampang laki-laki yang sedang tertawa itu memang diatas rata-rata. Apalagi jas kantoran berwarna abu-abu yang semakin membuatnya terlihat gagah. Satu hal lagi yang mencengangkan, karna cewek yang duduk dihadapannya --yang juga sedang asik tertawa bersamanya-- merupakan primadona SMA Galaxy yang juga merupakan sekretaris OSIS.

Sayup-sayup diantara alunan musik jazz, Sasya mendengarnya jengan jelas, bisik-bisik yang menjelekan dirinya. Sebenarnya, Sasya sudah muak dan merasa panas di telinganya. Tapi, Sasya terlalu malas meladeni tipe-tipe cewek munafik seperti mereka. Orang yang hanya bersikap baik saat berhadapan langsung dengannya.

"Pah, pindah yuk. Panas telinga Sya disini." Sasya memutuskan pergi saja. Daripada emosi dan malah melabrak mereka satu persatu. Sasya tidak ingin pamornya tercoreng di depan Dave. Bagaimanapun, Sasya ingin bersikap normal persis seperti cewek-cewek lainnya saat dihadapan orang tuanya.

"Terus temen kamu gimana?" Hari ini, Sasya memberitahukannya akan datang ke kafe yang dirintisnya bersama Sasya dua tahun lalu. Nez caffe. Itulah namanya. Sasya bilang, dia akna bertemu dengan salah satu temannya untuk membahas progam OSIS di masa akhir jabatannya sekaligus untuk penutupan MOS. Sasya bilang hanya beberapa orang saja, karna memang ketua OSIS yang kata Sasya nyebelin itu, melimpahkan semua tugasnya kepada dirinya.

"Hm, aku boleh nggak pake ruangan papah buat istirahat sebentar? Papah nggak kemana-mana, kan? Boleh minta tolong juga, nggak, nanti kalo mereka dateng suruh tunggu sebentar, Sya udah bilang, kok, nyuruh mereka ke meja tiga belas," ucap Sasya. Entahlah, Sasya merasa tubuhnya gampang lelah sekarang, apalagi semenjak kepulangannya dari Malang. Capek sedikit saja, Sasya merasa seluruh tulangnya akan rontok.

Dave melirik jam tangannya, masih pukul tiga sore, sedangkan dia akan rapat pukul lima. Mungkin menunggu teman Sasya sebentar tak masalah. "Boleh dong. Kamu istirahat aja, jangan terlalu capek. Nanti biar papah marahin aja ketua OSIS kamu, enak aja bikin anak papah ini capek."

Sasya tertawa. "Jangan dong, pah. Kalo papah apa-apain dia, nanti Sya nggak dikasih restu ngegebet adiknya."

Kali ini Dave ikut tertawa. Dia mengusap ramput Sasya penuh sayang. "Istirahat, ya, sayang. Sini cium dulu," ucapnya sambil menujuk pipi kirinya. Sasya bangkit dengan semangat, lalu mengecup pipi kiri Dave, diatambah pipi kanannya. Katanya untuk bonus. Langkahnya ringan menuju lantai dua dimana ruangan khusus untuk Dave berada.

"Dasar kelakuan anak itu." Dave geleng-geleng sendiri dengan tingkah putrinya.

Dave menghela nafas singkat saat ada seorang cowok yang berjalan pelan ke arahnya. Lebih tepatnya ke arah meja yang didudukinya.

"Maaf, ehm… bang. Lo udah selesai? Gue ada janjian sama temen gue di meja tiga belas. Atau kalo nggak, boleh gue gabung sebentar? Sampai paling nggak, temen gue dateng?"

Dave mamandang cowok itu lekat. Agak kaget juga saat dia memanggilnya dengan sebutan Abang. Selama ini, selain Leo, teman-teman Sasya memanggilnya Om. Tidak heran sih, cowok itu memanggilnya Abang, umurnya saja masih dua puluh empat tahun.

If NotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang