Empat Belas

11 0 0
                                    

#Part Empat Belas

Bug!

"Aduh!"

Hampir saja, berbagai makian, umpatan, dan pengabsenan kebun binatang terlontar begitu saja dari mulut cowok yang sedang menenteng tas hitamnya itu. Untung saja hanya hampir, cowok itu tak akan pernah bisa menduga jika segala sumpah serapah itu benar-benar terlontar dari mulutnya yang sudah dikutuk oleh seseorang didepannya. Cewek berparas cantik didepannya itu tersenyum. Tapi cowok itu tahu kalau senyum itu bukan senyum manis --walaupun terlihat sangat manis-- melainkan senyum maut mematikan bagi siapa saja yang melihatnya, tak terkecuali cowok itu. Belum lagi, tiga orang yang berapa di belakangnya, dua cowok yang berjalan seperti pengawalnya, dan seorang guru muda dengan tatapan tajam.

Guru itu maju selangkah, mensejajarkan dirinya dengan gadis yang masih senantiasa tersenyum itu. Dua cowok dibelakangnya saling pandang, lalu mengangkat kedua bahunya acuh. Selanjutnya, kedua cowok itu berlalu tanpa memperdulikan keduanya. Berjalan menuju lapangan dimana adik kelasnya -kelas sepuluh-- sedang melakukan PBB.

"Kamu ini!" geram guru berkaca mata itu. "Itu kenapa masih pegang tas? Kamu telat?!" lanjutnya.

Cowok itu tersenyum cengengesan. Lalu memasang tampang bodohnya. "Eh? Bu Tafisa, makin cantik aja deh Bu," godanya. Guru muda yang bernama Bu Tafisa itu semakin melotot, wajahnya memerah padam, bukan karna tersipu, tapi karena menahan amarah.

"Leo!" desis gadis yang tadi ditabrak Leo --cowok yang menenteng tas itu. Leo menatap Sasya dangan tampang bodohnya, lalu kembali menatap Bu Tafisa. Dengan tergesa, Leo menyalim tangan Bu Tafisa, lalu lari terbirit-birit menuju kelasnya sebelum Bu Tafisa sadar.

Bu Tafisa menggeram. Sasya yang tahu bahwa Bu Tafisa akan meneriakan nama Leo memilih untuk mengajaknya bicara sebelum hal itu terjadi. "Jadi, Bu, mengenai acara pentas seni kelas sepuluh yang akan diadakan hari jumat, sepertinya adik-adik kelas sepuluh banyak menemui kesulitan.

"Kami dari pihak OSIS sudah berupaya mengarahkan mereka. Tapi, tenaga OSIS dan kemampuan kami di bidah Seni sedikit terbatas. Maka, kami memutuskan buat meminta bantuan ibu untuk sedikit memberikan pengarahan lebih kepada adik-adik kami. Bagaimana, Bu? Ibu merasa keberatan?"

Bu Tafisa tampak berfikir sebentar, tapi tak urung menghentikan langkahnya kembali sejak Sasya berbicara. Sasya lega saat melihat Bu Tafisa menganggukan kepalanya dua kali. "Baiklah, nanti setelah mengajar di kelas kamu, saya akan memberikan pengarahan pada mereka. Saya mengucapkan terimakasih sebanyak-banyaknya kepada pihak OSIS yang sudah bekerja keras untuk acara MOS dan Pentas Seni."

Sasya mengangguk singkat, lalu tersenyum ramah. "Sama-sama, bu. Sudah menjadi tugas kami," jawab Sasya. Sasya menghela nafasnya pelan saat Bu Tafisa melangkahkan kakinya ke arah ruang guru, arah yang berbeda dengan dirinya. Setidaknya, untuk saat ini, Leo bebas dari hukuman Bu Tafisa dan satu tugasnya selesai. Walaupun Sasya tidak yakin jika Leo akan terbebas dari hukuman saat di kelas nanti. Sasya bergegas ke lapangan, di hari terakhir MOS sekaligus persiapan penutupan yang akan dilaksanakan pada hari jumat bersamaan dengan  acara pentas seni, dia dan teman-teman OSIS lainnya benar-benar memberikan pelatihan terbaik untuk adik kelasnya. Dia merasa bangga karena semuanya berjalan seperti rencana.

Sejak satu jam yang lalu --tiga puluh menit sebelum Sasya memutuskan untuk kelapangan-- anak-anak kelas sepuluh diajarkan berbagai macam gerakan PBB, dari yang semula teori sampai prakteknya langsung. Saat ini, anak-anak OSIS membiarkan mereka beristirahat, termasuk anak OSIS juga sebenarnya. Tapi Sasya memutuskan untuk mengajak Rafka dan Edgar untuk mengikuti kegiatan belajar-mengajar di kelas. Sekarang adalah pelajaran Seni Budaya, tentu saja Sasya tidak akan melewatkannya begitu saja. Sayangnya, Edgar dan Rafka menolak ajakannya. Edgar beralasan ingin tidur saja di ruang OSIS, sedangkan Rafka hendak mengisi perut dikantin. Alhasil, sekarang Sasya berjalan sendirian menuju kelas.

"Sendirian aja. Keliatan banget jomlonya, neng," ucap seseorang yang tiba-tiba menebuk bahunya.

Sasya menoleh kaget. Dia melotot dan refleks mencubit perut seseorang itu. Bryan. Cowok itu meringis, lalu tertawa jahil. Dia berjalan di sisi Sasya, hal yang membuat Sasya heran.

Sasya memicingkan matanya saat menatap Bryan. "Kok, kamu bisa disini?" tanya Sasya.

Bryan mendengus pelan. "Sya, biasain panggil gue pake lo-gue jangan aku-kamu. Nggak enak gue dengernya."

Sasya menghela nafas pelan. Cowok ini… bisa nggak, sih, kalau ngomong itu jangan langsung to the point, nggak mencerminkan rakyat Indonesia banget yang suka basa-basi. Bikin sakit hati aja. "Maaf," cicitnya.

"Jadi, kenapa lo bisa disini?" lanjut Sasya bertanya.

Bryan menoleh. Sempat merasa tak enak saat melihat raut murung Sasya. Tapi Bryan mencoba biasa saja. Tekatnya sudah bulat untuk berteman dengan Sasya, dan mulai perlahan menghapus rasa bencinya. "Dari kantin," jawab Bryan singkat.

Seketika Sasya melotot. "Lo bolos?!" tudingnya. "Wah, parah, berani banget lo pelajarannya Bu Tafisa bolos. Keren, keren, salut gue," lanjut Sasya dengan nada menyindir.

Bryan tertawa. "Berarti sama aja dong sama lo, lo ngapain jam pelajaran begini malah keliaran disini. Ck, ck, ck, nggak mencerminkan juara umum banget."

Sasya menggeram. Baru saja dia akan membalas ucapan Bryan. Tapi seseorang didepannya menghentikan ucapannya. Sasya mendongak, lalu meringis tipis saat melihat tatapan tajam Bu Tafisa.

"Bagus, bukannya belajar malah pacaran!" ucapnya langsung.

Bryan nyengir lebar. Dia menyalim tangan Bu Tafisa diikuti Sasya. "Laper, bu. Jadi saya ngantin dulu. Ibu mau kalau lagi ngajar tiba-tiba muridnya pinsan?" tanya Bryan.

"Oh iya, Sasya bukan lagi ngluyur, bu. Dia habis dari lapangan. Kan, dia sekretaris OSIS. Seharusnya, nih, ya, Bu, Sasya tuh lagi ngadem dikantin, tapi dia malah milih ikut pelajaran Ibu yang cantik ini. Kurang baik apa coba dia? Jadi… izinin kita masuk ya, Bu?" imbuh Bryan.

Sasya melotot, enak saja Bryan memakai namanya untuk menyelamatkan mereka. Sasya tidak terima. "Betul, bu. Tapi, Bryan habis bolos, bu. Jangan biarin dia masuk," ucap Sasya.

Bu Tafisa memijit pelipisnya. Pusing. Makanya, dari pada dia pusing, lebih baik, dia dengan cepat menyuruh Sasya masuk kelas. "Kamu berdiri di dekat papan tulis," ucap Bu Tafisa kepada Bryan. Lalu bergegas masuk diikuti Bryan --yang tumben tidak membantah-- dibelakangnya.

"Keluarkan alat musik kamu, lalu mainkan!" kata Bu Tafisa.

Bryan menoleh ke arah Bu Tafisa, guru seni budaya yang terkenal killer itu, selain guru seni budaya, musuh bebuyutan Bryan itu juga merangkap --maaf, men-trio-kan karna tiga sekaligus-- jabatan sebagai guru BK dan guru bidang kesiswaan, saat guru itu duduk dikursi guru. "Maaf, bu. Tapi saya nggak bawa alat musik," jawab cowok itu tanpa rasa bersalah.

"Alasan! Saya, kan, sudah bilang minggu lalu, hari ini bawa alat musik! Tapi, kamu melanggar!" Suara bu Tafisa menggelegar, tidak ada anggun-anggunnya sama sekali sebagai guru seni budaya. Hal itu membuat Sasya yang masih berdiri disamping Bryan terlonjak kaget.

"Sekali lagi, maaf, Bu Tapasha," ucap Bryan lagi. Hal itu membuat teman sekelasnya terkekeh, tetapi langsung diam saat melihat muka merah padam Bu tafisa.

"Demi Dewa," lanjut Leo. Semuanya kembali tertawa. Tapi tidak dengan Sasya. Gadis itu tercengang. Bukan, bukan karna Bryan maupun Leo yang dengan ketidak-sopanannya menggoda Bu Tafisa --karna hal itu memang sudah biasa. Tapi, karena untuk pertama kalinya, Leo dan Bryan --dua orang yang dikenal dengan kemusuh bebuyutannya-- tiba-tiba menjadi sangat kompak. Dan hal itu karna Bu Tafisa, sepertinya, Sasya harus memberikan award kepadanya besok.

Bu Tafisa yang nampaknya sudah sangat emosi, memutuskan untuk membiarkan Bryan dan Sasya duduk. Sasya berjalan cepat mendahului Bryan, lalu segera duduk dibangkunya. Dia sempat menoleh kebelakang, ke meja dimana Leo duduk sendiri karena Rafka tidak di kelas. "Leo, lo baik, kan?" tanya Sasya khawatir.

Leo tertawa singkat, lalu mengangguk sebagai jawaban. "Aman, Sya. Kayaknya, tuh, guru lupa deh," imbuh Leo. Sasya menghembuskan nafas leganya. Lalu secara refleks menepuk punggung tangan Leo tiga kali.

Sialnya, Bryan melihat itu semua. Dan yang lebih sialnya lagi adalah, Bryan merasa tidak suka dengan interaksi mereka.

🌷🌷🌷

If NotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang