Sembilan

19 2 0
                                    

#Part Sembilan

Leo baru saja selesai memasang handmook di dua pohon yang berdekatan. Sebelumnya, dia sudah selesai membantu teman-temannya memasang tenda untuk para cewek. Mereka hanya memasang empat tenda, untuk cewek satu, dan cowok tiga tenda. Biar sisanya menggunakan handmook dan berjaga.

Teman-temannya sudah duduk di pinggir pantai sedari tadi, tapi Leo enggan bergabung. Dia merasa badannya pegal semua, akhirnya dia memutuskan untuk membaringkan dirinya di handmook yang baru saja dipasangnya.

Seseorang datang, berjongkok tepat di samping kepalanya. Leo yang baru saja hendak menutup mata langsung membukanya kembali.

"Kenapa Sya?" Sasya terdiam tak menjawab. Wajah gadis itu tenggelam dalam lipatan tangannya.

Leo tau Sasya menangis. Kebiasaan Sasya yang tak ingin ada orang lain melihatnya meneteskan air mata, membuat Leo membiarkannya sebentar. Sembari menunggu, Leo memilih menutup matanya kembali. Tapi, siapa sangka, Sasya malah memukul kepalanya keras-keras, membuatnya mengaduh kesakitan.

"Lo tuh ya, temennya lagi susah begini bukannya nenangin malah enak-enakan tidur. Mana gue dibiarin jongkok disini lagi."

Leo mendengus. "Tuh, kan, serbah salah lagi gue-nya. Kalo gue biarin dibilang ngga peduli, kalo gue tanyain apa tenangin malah dibilangnya sok perhatian. Jadi cowok ribet amat hidupnya."

Sasya yang hidungnya sedang memerah itu justru malah terkekeh. Lucu juga melihat Leo yang biasanya garang merajuk begini. Leo bangkit, menarik tangan Sasya untuk duduk menggantikan posisinya, sedangkan Leo memilih jongkok seperti apa yang di lakukan Sasya tadi.

"Yaudah, cerita."

Tapi Sasya diam. Leo sudah bilangkan kalau cewek itu super ribet, yang berujung dengan cowok yang di buat ribet? Hidup menjadi cowok itu serba salah seperti yang dia rasalakan saat ini.

"Gue kangen Ayah. Dulu, Ayah pernah janji bawa gue ke Malang."

Setelah tahu apa yang membuat Sasya sedih, segera Leo membawa Sasya kepelukannya. Salah satu alasan yang bisa membuat Sasya menangis tiba-tiba adalah Jason, Ayah kandung Sasya.

"Sssttt! Udah, Sya. Om Jason pasti udah bahagia di surga. Lo jangan sedih-sedih lagi, lo tega, kalo Om Jason juga ikutan sedih di sana karna lo sedih?"

Sasya menggeleng, bukan karna menjawab pertanyaan Leo, tetapi tidak setuju dengan penyataan Leo.

"Le, gue percaya Ayah masih hidup selama jasadnya belum ketemu."

"Sya, sadar, ini udah tujuh tahun, lo ngga bisa hidup dengan harapan lo itu terus menurus. Bangkit Sya, inget mimpi lo. Sekarang, mending lo telfon Bang Dave. Lo belum ngabarin dia, kan, dari kemaren?"

Seketika, Sasya menepuk jidatnya. Bagaimana dia bisa lupa dengan hal sepenting ini? Ini semua gara-gara Bryan yang beberapa hari ini mencuri perhatiannya.

"Yaudah gue balik, handphone gue di tenda. Makasih, lagi-lagi lo yang gue repotin."

Leo tersenyum. Dia tak merasa keberatan dengan ini semua. Bahkan cowok itu menganggap bahwa menjaga Sasya sudah menjadi bagian dari tugasnya. "Iya, kaya sama siapa aja lo, mah. Buruan, nanti gue yang di teror sama bokap lo," ucap Leo terkekeh.

Sementara itu, Sasya melangkah menjauh setelah memberikan kiss jauh yang membuat Leo bergidig, alhasil hal itu menbuat Sasya tertawa keras. Leo geleng-geleng kepala melihat mood Sasya yang cepat sekali berubah.

Baru saja Sasya mengambil ponselnya dan hendak menghubungi Dave, seseorang sudah menepuk bahunya sekali. Hal itu membuat mengurungkan niatnya dan segera berbalik. Ternyata Bryan. Cowok itu memberikan kode agar Sasya mengikutinya. Sasya mendengus, tapi tak urung mengikuti langkah Bryan.

If NotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang