Tujuh Belas

14 0 0
                                    

#Part Tujuh Belas

Edgar terkejut saat membuka kamar kembarannya. Bau harum menyeruak ke indra penciumannya. Botol parfume, tempat pomade, bahkan gitar berserakan dilantai. Boneka beruang yang dulu diberikannya kepada Bryan sudah mengeluarkan isinya. Buku-buku berserakan, kertasnya berhamburan. Lampu hias yang baru kemaren sore Bryan pasang sudah terputus. Kaca, keramik, dan cermin semuanya berserakan. Tetasan darah juga terlihat. Darah? Dengan cepat, Edgar mencari Bryan yang tak terlihat batang hidungnya.

"Bry!" panggil Edgar.

Suara pintu terdengar. Dari balik kamar mandi, Bryan melangkah mendekatinya. Ramput cowok itu terlihat acak-acakan, wajahnya muram dan datar. Ditangan cowok itu, melilit kaos yang memerah karena darah.

"Bangsat!" Makaian itu terdengar dari mulut Bryan saat kakinya tak sengaja menginjak pecahan kaca. Edgar terkejut, tapi tak bisa menahan tawanya. Dengan cepat, dia membawa Bryan keluar, takut kembali menginjak pecahan kaca.

"Bunda!" panggil Edgar. Alleta berlari tergopoh-gopoh dari dapur. Wanitu itu baru saja selesai memasak roti.

"Astagfirulloh, kamu kenapa sayang?"

Alleta terkejut saat melihat salah satu anaknya sedang meringis. Dengan cepat, dia memeriksa tangan dan kaki kiri Bryan yang tampak mengeluarkan darah. Alleta terkejut, tentu saja. Walaupun Bryan sudah berkali-kali mengalami luka, bahkan pernah patah kaki akibat kecelakaan saat balapan, Alleta tetap saja khawatir.

"Kenapa lagi kamu?" tanya Bima yang baru saja turun dari tangga. Ayah dari sikembar Edgar dan Bryan itu langsung turun saat mendengar jeritan Alleta.

"Ini, Yah, anak kamu, bikin khawatir Bunda aja," adu Alleta. Bryan cemberut, selalu saja disalahkan, batinnya.

Bima sebenarnya tidak kaget. Dia sudah melihat saat Bryan mulai membanting meja belajarnya. Kebetulan, pintu kamar Bryan tidak tertutup dengan rapat. Bima yang kebetulan lewat terkejut saat mendengar jeritan Bryan. Saat hendak menegurnya, dia urung karena melihat keadaan Bryan yang tampak kacau. Bima memberikan waktu Bryan untuk melampiaskan emosinya. Tapi, dia tak menyangka jika hal itu bisa melukai anaknya.

Bima mendekat saat Alleta mulai mengobati lengan dan kaki Bryan. Edgar sendiri, sedari tadi hanya tertawa mengejek. Segala kejulitan Edgar yang tak pernah diketahui orang memang kadang muncul disaat yang tidak tepat. Contohnya ya ini, saat Bryan sedang kesusahan. Apalagi saat melihat tatapan datar Bima, sungguh Edgar merasa, kembarannya itu adalah makhluk paling sengsara dirumah ini yang sayang untuk tidak ditertawakan.

"Adiknya lagi sakit malah diketawain," tegur Alleta.

Edgar segera menghentikan tawanya. Memasang raut wajah datar saat gantian, Bryan yang menertawakan. "Kan, udah biasa, Bun, kalau Bryan yang ngetawain Edgar, sekarang gantian, dong," bela Edgar.

"Kamu kenapa?" tanya Bima. Kini semuanya hening, Bryan yang ditanya pun tak berani menjawab. Cowok itu hanya menunduk. Tangan kanannya yang tidak luka menggenggam tangan Alleta. Edgar menepuk punggung Bryan pelan untuk menguatkan cowok itu.

"Jawab aja, Ayah nggak marah," lanjut Bima saat merasa anaknya takut kalau sampai dia marah. Lima menit berlalu, tapi Bryan tak ada tanda-tanda mau menjawab. Bima menghela nafas pelan. Bryan itu sama keras kepalanya dengan dia. Tapi yang membedakan, jika Bima berani membantah apapun yang menurut dia salah bahkan kalau yang mengatakan itu orang tuanya sendiri, Bryan akan takut --atau lebih tepatnya sungkan-- jika kepada orangtua, apalagi jika itu Bima.

"Bryan, berapa kali Ayah bilang. Ayah ini ayah kandung kamu. Kamu nggak perlu merasa takut seperti itu kepada Ayah. Ayah nggak bakal marah apapun alasan kamu menghancurkan kamar seperti itu. Tapi, kalau sampai melukai diri kamu sendiri, Ayah nggak segan-segan buat hukum kamu. Sekarang, Ayah minta kamu pertanggung jawabkan kamar kamu sendiri, bersihin semuanya sendiri," putus Bima. Tampak sekali bahwa Bima marah kepadanya. Bryan tau itu. Maka, dengan segera, dia menyusul Bima yang belum terlalu jauh.

If NotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang