Duabelas

10 1 0
                                    

#Part Duabelas

Bryan berjalan lemas di koridor. Dia melangkah pelan ke arah parkiran sepeda. Letaknya paling ujung, tepat di sebelah parkiran motor. Hari ini memang Bryan berangkat dengan sepedanya. Motornya disita selama seminggu oleh Ayahnya. Dan dia tidak suka bepergian naik mobil, macet, salah satu dari sekian banyak alasannya.

"Sialan, kenapa nggak mobil aja, sih, yang disita," gerutunya.

"Naik angkot ajadeh, capek gue." Bryan setengah berlari menuju pos satpam. Tujuannya adalah menitipkan sepedanya semalam disini, atau jika sempat, akan Bryan ambil malam nanti.

"Makasih, pak," ucapnya setelah menitipkan sepedanya. Setelahnya, Bryan melangkah menyusuri trotoar. Berdiri di samping halte. Padahal, tadi Bryan berharap bisa duduk-duduk santai sembari menunggu angkot datang. Tetapi apalah daya, bangku yang ada di halte sudah penuh, dan Bryan tidak tega mengusir cewek-cewek yang tampaknya kelelahan, seperti dirinya.

Beberapa siswi menyapanya ramah, yang dibalas tak kalah ramah darinya. Hal inilah yang sering membuat kesalah pahaman. Padahal, Bryan hanya mencoba bersikap ramah, tapi, keramahannya sering kali disalah artikan oleh pada cewek. "Gini nih, nasibnya jadi cogan," gerutunya.

"Kamu, kok, ada disini?" tanya seseorang yang tiba-tiba muncul disampingnya. Dia Vita, cewek yang baru tadi pagi menjabat jadi pacarnya. Sejak pengumuman kenaikan kelas, Vita yang merupakan murid kelas sebelas itu mulai gencar mendekatinya, seperti mengiriminya banyak pesan sampai nekat mendatangi rumahnya. Untung saja, waktu itu Bryan sedang liburan di Malang.

"Kok nggak bawa motor?" Bryan yang sedari tadi tak menjawab, membuat Vita penasaran. Bryan mendengus pelan. "Dijual," jawabnya asal.

Vita nampak terkejut, tapi dengan cepat, dia kembali menetralkan raut wajahnya. "Yaudah, aku duluan, udah dijemput temen," pamit Vita.

Bryan hanya diam. Memperhatikan seorang pria dengan kisaran umur dua puluh lima tahun membukakan pintu untuk Vita. Bryan sebenarnya tau, bahwa pria itu bukan sekedar teman bagi Vita. Rumor bahwa Vita merupakan simpanan Om-Om sudah sampai ditelinganya. Dan yang Bryan tahu, berita itu memang bukan sekedar rumor. Tapi Bryan tidak peduli, toh, dia menjadikan Vita pacar hanya karna untuk mengisi waktu jomlonya saja.

"Hallo, kak Bry!" Seseorang kembali menyapanya. Kali ini dia tersenyum manis karna hafal dengan suaranya.

"Kakak kok di halte? Nggak bawa motor? Bareng aku sama kak Edgar aja yuk!" ajaknya. Dia Arra, tetangga sekaligus anak dari sahabat Bunda-nya yang sudah dianggapnya sebagai adik sendiri.

"Biarin aja Ra, sok-sokan bikin perjanjian, sih, sama bokap. Udah tau bokap cerdik. Kesempatan banget, biar lo nggak balapan terus," ucap seseorang mendahului sebelum Bryan sempat menjawab.

"Diem, Ed, sana pergi lo!" usir Bryan kepada Edgar. Edgar mendengus, lalu kembali berjalan pelan menuju mobilnya yang terparkir di dekat halte. "Sana, ikutin Edgar. Bilangin, nanti gue naik angkot aja, bilangin makasih juga." Kali ini, Bryan menatap Arra, gadis itu mengangguk semangat, lalu tersenyum saat Bryan menepuk puncak kepalanya.

Sesaat, Bryan menatap kepergian mobil Edgar. Lalu, tiba-tiba pikiran jailnya muncul. Dengan cepat, dia mengambil ponsel di kantung hoodie-nya. Lalu mendial salah satu nomor. Senyumnya mengembang saat seseorang diujung telfon sana, langsung mengangkatnya.

"Gue berubah pikiran. Sekarang, lo ke halte. Nggak ada tapi-tapian. Cepetan!" gertaknya. Dia langsung memutuskan sambungan telfonnya sebelum orang itu sempat melayangkan protes lagi.

Lima belas menit menunggu. Bryan menoleh saat ada seseorang berlari tergopoh-gopoh ke arahnya. Ditangan kirinya memegang paperbag besar, sedangkan tangan kanannya memegang tas punggungnya dan juga laptop yang masih terbuka. Seketika, Bryan tertawa. Gadis ini… Bryan geleng-geleng kepala melihatnya.

"Kacamatanya miring," ucap Bryan jail. Gadis itu cemberut, lalu memberikan laptopnya ke tangan Bryan. Tas punggungnya dibantingnya asal, sedangkan paperbagnya diletakan dengan hati-hati. Tangannya meraba hidungnya, tapi tak menemukan apa-apa, lalu berpindah ke rambutnya. Kosong. Gadis itu cemberut, lalu memukul perut Bryan pelan.

"Jail banget sih, lo," ucapnya kesal. Alhasil, Bryan semakin mengeraskan tawanya.

"Ngapain panggil gue kesini? Gue sibuk banget, sialan emang si Edgar, dia asik-asikan pacaran malah nyuruh gue yang kerjain semua tugas dia di OSIS. Mentang-mentang gue sekretarisnya!" Gerutuan itu tentu saja membuat Bryan kembali meledakan tawanya.

"Lo bawa motor apa mobil?" tanya Bryan saat sudah menghentikan tawanya.

Sasya tampak berfikir. "Nggak bawa dua-duanya. Nggak diizinin bokap, jadi gue dianter."

"Sialan! Terus buat apa gue panggil lo kesini?" gerutu Bryan. Kali ini, Sasya yang tertawa.

"Tapi gue boong. Bawa mobil, kok, gue. Mau nebeng yah? Katanya holkay," ledek Sasya.

Bryan mendengus, lalu berjalan terlebih dahulu menuju parkiran. Laptop Sasya masih ditangannya, ditambah dengan tas punggung gadis itu yang sekarang dibawanya. Nampaknya, cowok itu tidak sadar telah membawakan barang Sasya.

"Sialan! Yang babu kan lo! Kenapa gue yang bawain barang lo sih?!" Sasya tertawa saat baru saja membuka pintu mobil penumpang di samping kemudi, Bryan sedang menggerutu. Yang Sasya kagumi dari sosok Bryan kali ini adalah, Bryan berhasil menemukan kunci mobilnya. Sungguh bibit unggul untuk menjadi seorang maling. Hebat. Mari kita bertepuk tangan sebentar.

"Jalan pak supir. Babumu ini masih banyak acara," perintah Sasya dengan Bossy-nya. Bryan mendengus, tapi tak urung juga menjalankan mobilnya.

Bryan menjalankan mobilnya dengan sesekali menggerutu. Jarak tampuh sekolah ke rumahnya hanya lima belas menit, tapi karena macet, Bryan terpaksa terjebak bersama gadis bar-bar ini lebih dari tiga puluh menit. Tak ada pembicaraan apapun. Bryan fokus dengan kemudinya sedangkan Sasya sibuk menelfon Papahnya.

"Bye, pah, love you," ucap Sasya mengakhiri sambungan telfonnya. Dia mendongak, ternyata mobilnya sudah berhenti di halaman rumah Bryan. Beberapa kali, Sasya sudah pernah minganjakan kaki disini. Sekedar mengunjungi Bryan atau belajar bersama dengan Edgar.

"Udah sampai?" tanya Sasya.

Bryan mendengus. "Bisa nggak sih, tanyanya yang berguna sedikit?"

Sasya cemberut. Bryan itu nyebelin pake banget. Selalu saja bisa membuatnya diam. Tapi, walaupun begitu, Sasya tetap saja suka pada cowok itu. Sial.

Sasya berjalan malas dibelakang Bryan. Cowok itu menunjuk sofa yang ada diruang tamu. Memberikan kode untuk Sasya duduk disana. Sedangkan Bryan sendiri meneruskan langkahnya ke kamarnya.

Sasya tersenyum hangat dan langsung memeluk erat Alleta saat ibunda Bryan itu menyapanya. "Sya kangen banget sama tante, lama nggak kesini, hehe. Tante kangen juga nggak sama Sya?" Alleta mengangguk antusias. Dia menyuruh Sasya kembali duduk.

"Kamu mau belajar bareng sama Edgar? Edgar belum pulang."

Sasya menggeleng singkat. "Nggak tante. Sasya kesini sama Bryan. Nganterin Bryan, katanya nggak bawa motor." Bersamaan dengan itu, Bryan baru saja turun. Cowok itu sudah mengganti bajunya dengan kaos hitam dan celana pendek selutut.

"Pinter banget lo ngadunya," gerutu Bryan.

"Kamu yang pinter banget. Jadi ini alasan kamu bujuk kakek buat atur kelas dan korbanin motor kesayangan kamu?" ucap Bima yang baru saja muncul.

"Sssttt! Pah! Jangan dibocorin!" gertak Bryan tanpa sadar. Hal itu membuat Sasya tanpa sadar menginjak kaki Bryan.

"Nggak sopan banget sih lo!" bisik Sasya. "Maafin om, Bryan emang gitu," lanjutnya kepada Bima. Sejenak Sasya terdiam, lalu memukul mulutnya setelah sadar bahwa untuk apa dia meminta maaf atas Bryan kepada Ayahnya sendiri? Tingkahnya itu membuat Bryan tertawa terbahak-bahak.

Hari itu, tawa yang menggelegar dari mulut Bryan benar-benar membuat Sasya semakin jatuh cinta. Senyumnya mengembang dan pipinya bersemu merah saat cowok itu tampak kesulitan menghentikan tawanya.

🌷🌷🌷

If NotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang