Aku terbangun dengan napasku yang tersengal. Mataku memperhatikan tubuhku, mencari-cari luka cakar yang ternyata tidak nyata. Aku mendesah lega setelah menyadari kalau aku hanya bermimpi, semuanya mimpi. Aku masih berada di rumahku, di kamarku, bukan di hutan yang dipenuhi darah.
Kepalaku menengok ke arah jam digital yang terduduk di meja samping tempat tidurku. Waktu menunjukkan sudah lewat tengah malam, aku melewatkan makan malam. Aku mengerang saat mendengar suara perutku yang berbunyi. Semoga saja ibuku menyisakan makan malam untukku di kulkas.
Tidak mau kelaparan, aku langsung turun dari ranjangku. Saat aku membuka pintu kamarku, aku menemukan lampu di lantai bawah masih menyala, dan itu aneh. Biasanya ibuku selalu mematikan lampu saat semuanya sudah tidur.
Aku mengangkat bahuku acuh, menganggap kalau itu bukan masalah besar. Aku meuruni tangga dengan berjinjit, tidak ingin menimbulkan suara dan membangunkan kedua orangtuaku. Ibu dan ayahku sama-sama memiliki telinga seperti kelinci, itu kenapa aku selalu tertangkap ketika menyelinap diam-diam.
Aku langsung membuka kulkas saat sampai di dapur, berteriak kegirangan sebab ibuku menyisakan lasagna untukku. Tanpa mengeluarkannya dari loyang, aku memasukkannya ke dalam microwave untuk dihangatkan. Selagi menunggu, aku mengambil piring, sendok dan segelas air putih, menaruhnya di meja makan.
Aku mengernyit begitu menyadari kalau lampu di kamar orangtuaku juga masih menyala. Saat orangtuaku tidur atau tidak sedang ada di rumah, lampu di kamar mereka selalu mati. Rasa penasaranku muncul, membuatku ingin mengetuk pintunya dan memastikan kalau orangtuaku ada di kamarnya.
Suara dari microwave membuatku menengok, menandakan kalau lasagna yang kutaruh sudah layak untuk kumakan. Aku memakai sarung tangan anti panas untuk mengambil loyang panas itu. Aku memindahkan lasagna ke piring yang sudah kusiapkan, membiarkan loyangnya begitu saja di meja makan.
Perutku yang kembali berbunyi membuatku ingin cepat-cepat menghabiskan makanannya. Benar saja, tidak butuh waktu lebih dari sepuluh menit lasagna yang kusajikan sudah habis, aku membuatnya sempurna dengan meneguk air putih. Mendesah puas, aku membereskan peralatan makan yang sudah kotor dan langsung kucuci.
Aku mengelap tanganku dengan lap kering setelah selesai mencuci semuanya. Sepertinya tidur tidak akan menghampiriku dalam waktu dekat, mengingat aku sudah tidur lama tadi. Aku memutuskan untuk menonton TV di ruang keluarga.
Saat aku melewati kamar orangtuaku, aku mendengar suara orang yang sedang terisak. Aku menghampiri kamar ibuku karena rasa penasaranku, tapi rasa itu menghilang setelah aku mengenali suara siapa itu. Rasa cemas menggantikan rasa penasaranku begitu saja.
"Mom," aku mengetuk pintu kamar, tapi yang kudapat hanya suara isakkan yang bertambah kencang. Tanpa menunggu respon, aku langsung membuka pintu kamarnya begitu saja. Untung saja ibuku tidak mengunci pintu kamarnya.
Hatiku langsung terasa sakit begitu melihat bagaimana kondisi ibuku. Kacau. Rambutnya yang sebahu terlihat berantakan dan tidak terawat. Matanya sembab dan memerah. Air mata tak henti-hentinya mengalir dari kedua matanya. Bibirnya bergetar, begitu juga dengan tangannya yang memegangi selembar entah itu apa.
Aku menghampiri ibuku dan langsung memeluknya ke dalam pelukanku. Saat berada dalam dekapanku, ibuku memelukku seperti hidupnya bergantung padaku. Tangannya yang gemetar mencengkram bajuku sekuat tenaga, takut jika aku pergi meninggalkannya.
Aku membiarkan ibuku seperti itu tanpa berbicara sepatah katapun. Ibuku adalah wanita tangguh di mataku. Selama yang kuingat, aku tidak pernah melihatnya menangis di depanku. Ibuku selalu menunjukkan wajahnya yang penuh kebahagiaan, tidak pernah yang seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Claimed by the Vampire King
VampirgeschichtenBerawal dari menemukan mayat misterius, hidup Zoey tidak bisa dibilang normal lagi. Satu per satu rahasia mulai muncul ke permukaan. Makhluk yang dikiranya hanya ada pada mitos, mulai datang menemui dirinya.