Chapter 33 || Pria Bermata Hijau ||

1.4K 111 0
                                    

Aku tidak cukup puas hanya dengan mengunci pintu kamarku saja, dengan itu aku menuju kamar mandi sebelum akhirnya aku mengunci pintunya juga. Napasku memburu, keringat dingin mulai kurasakan keluar, aku bahkan tidak menyadari kalau tanganku juga gemetar.

Aku menopang kedua tanganku di wastafel, mataku menatap pantulanku sendiri di cermin. Wajahku yang pucat terlihat lebih pucat dari biasanya, keringat dingin yang membasahi wajahku juga membuatnya terlihat lebih buruk.

Otakku kembali memutar kejadian tadi di ruang tamu. Bertanya-tanya apakah Elijah benar akan melukaiku? Aku tidak ingin mempercayainya, tapi melihat dari ekspresi ataupun tatapannya, aku meragukan itu. Ketika Elijah menatapku tadi, ia terlihat bukan seperti Elijah yang kukenal, ia terlihat seperti predator yang menatap mangsanya, siap menerkam kapan saja.

Suara ketukan di pintu kamarku membuyarkan pikiranku. Detakkan jantungku yang tadinya mulai tenang kini berdegup lebih cepat lagi. Kepalaku terasa pusing karena besarnya rasa takut yang kurasa.

"Zoey," suara Henrietta yang serak terdengar cukup kencang melalui kamar mandi. Kamarku tidak kedap suara, jadi suara bisa di dengar dengan mudahnya dari luar atau dalam kamar. "Aku tahu kau di dalam. Biarkan aku masuk," Henrietta kembali mengetuk pintunya lagi.

"Apa Elijah ada?" tanyaku dengan suara pelan. Aku yakin Henrietta bisa mendengar apa yang kukatakan dengan jelas.

"Aku menyuruhnya keluar, memintanya untuk menenangkan diri." Suara Henrietta terlihat lebih lembut dari biasanya. Aku tahu Henrietta merasa kasihan padaku, dengan melihat betapa kacaunya kondisiku tadi sebelum berlari menuju kamarku.

"Oke," kataku berbisik.

Aku menenangkan diriku sebelum membuka kuncinya. Langkahku ragu saat menuju pintu kamarku. Saat aku membuka pintu kamar, tubuhku langsung dihantam oleh Henrietta dengan pelukannya, dan entah kenapa pelukan Henrietta membuatku lebih tenang. Mungkin saja tubuhku mengenali Henrietta tidak berbahaya untukku.

Setelah dirasa cukup lama pelukan Henrietta, ia melepaskanku dan menuntunku menuju ranjang. Henrietta duduk terlebih dulu sebelum aku mengikutinya duduk di sampingnya. "Maafkan aku. Aku bersumpah kalau aku tidak tahu sama sekali dengan apa yang sebenarnya terjadi tadi, ak – " aku menghentikan omonganku begitu Henrietta mengangkat satu tangannya di udara.

"Itu bukan salahmu," Henrietta berkata cepat. Mungkin ia melihat ekspresi panikku, takut kalau ia menghentikanku bicara karena ia marah padaku. Awalnya aku tidak yakin jika Henrietta tidak benar-benar marah padaku, tapi menjadi yakin setelah melihat tatapannya yang menatapku iba karena ia tahu kalau aku menyalahkan diriku sendiri.

"Aku tahu kau tidak berniat untuk melakukan itu," aku menundukkan kepalaku malu. Aku tahu Henrietta tidak menyalahkanku, tapi tetap saja aku merasa bersalah. Jika saja aku tidak memberikan Henrietta teh khusus dari Nana, Henrietta tidak akan tersedak seperti itu.

"Kau tahu apa yang ada di dalam teh buatanmu itu?" Henrietta menatapku dengan serius.

"Verbana atau disebut juga ver – "

"Vervain," potong Henrietta dengan cepat. Aku mengernyit, sebelum aku membuka mulut untuk bertanya dari mana ia tahu itu, Henrietta menjawabnya sendiri. "Vervain adalah racunnya para vampire, Zoey." Jelasnya.

Henrietta memalingkan wajahnya dariku untuk menatap langit-langit kamarku. Pikirannya seperti menjelajah ke masa lalu, menelusuri ingatannya tentang tanaman yang mematikan bagi kaumnya.

"Ratusan tahun lalu, leluhur kami memutuskan untuk memusnahkan semua vervain yang ada, tidak meninggalkan satu akarpun," Henrietta kembali menatapku, matanya memicing. "Jadi, dari mana nenekmu bisa menanam vervain, apalagi membuatnya sebagai teh untukmu?"

Claimed by the Vampire KingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang