2

1K 23 4
                                    

"Hai, Bro! Aku dengar kau mengikuti bimbingan bahasa Inggris di ujung jalan dekat pusat perbelanjaan itu?" Sapa sahabatku, Fauzi.

"Iya, kau tahu kan aku sangat ingin mendapatkan beasiswa ke luar negri? Dan aku berjanji dengan papa bahwa nilaiki tidak akan turun."

"Aku tahu," dia mengangguk seakan sudah bosan mendengarkan penuturanku tadi. Memang dia pasti begitu tahu tentang hal tadi. "Adakah perempuan cantik? Ku dengar tempat itu banyak murid-murid perempuan yang cantik?"

Seketika aku mengingat perempuan itu. Mr. Alex memang sudah menyebut namanya saat absensi, namun aku lupa siapa namanya.

"Pasti kau sedang mengingat-ingat perempuan cantik disana kan? Perkenalkanlah satu kepadaku! Haha" Fauzi selalu bersemangat bila menyangkut tentang perempuan-perempuan cantik. Tak heran dia terkenal sering berganti pacar, keahliannya merayu perempuan maka tidak susah untuknya mendapatkan seorang perempuan yang ia inginkan.

"Kalau ingin mencari perempuan, coba buat suatu kriteria sekalian untuk mencari istri. Haha, kalau kriteriaku harus perempuan atau calon istri yang strong iman dan tidak mudah sakit hati karena imannya kuat. Dan perempuan itu harus smart agar nanti keturunanku bisa pintar sepertiku dan calon istriku. Haha"

"Mengerti pak Ustadz.." Fauzi menganggukan kepalanya sambil tertawa. "Kau ini seperti ingin menikah tahun depan saja, kriterianya sudah disiapkan begitu matang."

Aku juga terkadang tidak mengerti aku sering membayangkan dan mempersiapkan masa-masa yang akan datang dari sekarang, termasuk kriteria perempuan yang aku impikanku. Aku tidak sehandal Fauzi yang mudah mendapatkan perempuan yang dia inginkan. Namun, aku selalu berdoa dan aku juga percaya Allah akan menyatukan orang baik pasti juga dengan orang yang baik.

-----------------------

PUTRI ANDRIANA'S POV

Kelas 12 IPA-4 di SMA negeri yang lumayan ter-favorit di kalangan ibu-ibu dan siswa-siswi kelas 9 yang mengimpikan sekolah disini. Sebenarnya impianku bukan SMA negeri yang aku tempati sekarang, namun SMA negeri yang letaknya tak jauh dari pusat kota. Dan sekolah itu sudah berstandar internasional, itu saat aku kelas 9 dan pemerintah belum menghapus sekolah berstandar internasional. Karena menurut masyarakat itu adalah salah satu penyelewengan dana bantuan operasional sekolah kalau tidak salah.

Walau sekolah itu sudah bukan berstandar internasional, kualitasnya tak berkurang sedikitpun. Aku berharap dulu belajar lebih giat lagi dan mendapatkan sekolah itu.

"Ayo kita rapat!"

"Rapat? Sekarang?"

"Iya tuan Putri.. Bapak ketua pelaksana sudah menunggu kita. Sudah terlambat 5 menit dari jadwal yang ia tentukan, pasti sebentar lagi ia murka. Cepat!" Gerry menarik tanganku kencang. Akupun tidak bisa beralasan lagi untuk tidak mengikuti rapat hari ini.

Acara tahunan sekolah kami akan diadakan 3 bulan lagi, tapi para pengurus Osis dan para panitia tambahan termasuk aku mulai sibuk dan membagi jadwalnya untuk mengurus acara ini, pentas seni musik yang akan diadakan di aula sekolah kami.

Walaupun sekolah kami tidak terlalu luas, 9 kelas untuk kelas 12, 9 kelas untuk kelas 11 dan juga 9 kelas untuk kelas 10. Namun aulanya cukup luas untuk mengadakan berbagai acara sekolah.

"Ehm.. Tadi janji kita mau rapat jam berapa?" Tanya pak ketua pelaksana sangat tegas, dia Rio anak 12 IPA-2.

"10, Yo. Disaat jam istirahat." Gerry menjawab sambil menunduk.

"Kenapa terlambat?!" Tanya Rio lebih tegas lagi.

Aku tidak suka suasana seperti ini. Apalagi hanya Gerry yang di pojokkan disini. "Janjinya kan saat jam istirahat, nah kami baru mendapat istirahat sekarang karena pak Heru baru selesai menjelaskan bab baru. Kami tidak bisa izin keluar lebih dahulu."

"Baiklah, duduk cepat disitu." Rio menunjuk sela-sela untuk kami duduk di pojok ruang Osis. Disitu terlihat para perwakilan kelas untuk tambahan panitia acara ini.

Rapat berjalan sangat serius. Hanya sedikit kami bisa tertawa karena Rio bukan orang yang bisa diajak bercanda disaat seperti ini. Dan selesai disaat jam istirahat selesai. Waktunya tak lama, tapi cukup untuj membahas bagaimana kita bisa mencari dana tambahan.

"Semoga dana tambahan bisa cepat menutup anggaran dana acara ini ya. Untuk kehadiran kalian saya ucapkan terimakasih. Mohon maaf bila kata-kata saya ada yang salah. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."

"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh." Jawab para anggota serempak. Dan semuanya kembali ke kelas masing-masing. Tinggal pak ketua pelaksana, dua sekretaris, dan dua bendaharanya.

"Rio, Anggun, Lita, Ricko, Nabila. Kami berdua ke kelas ya. Maaf tadi kami berdua terlambat, assalamualaikum." Aku melambaikan tangan kepada mereka. Dan Gerry membungkuk.

"Iya, tak apa-apa. Walaikumsalam."

----------------------

"Kau kan bisa menjual di tempat bimbingan bahasa Inggris itu! Aku tau banyak murid sekolah lain belajar disitu. Pasti kita untung besar!" Seru Riko, pak bendahara 1 memang semangat bila menyangkut penjualan tiket pentas seni.

"Aduh," keningku mengkerut. "Tapi aku tidak terlalu akrab dengan semua anak muridnya. Aku mungkin dapat menjualnya, namun tidak begitu banyak."

Sebulan lagi pentas seni akan diadakan. Tak terasa kerja keras kita beberapa bulan belakangan, terutama mencari sponsor untuk dana tambahan. Dan berjualan produk-produk dari sponsor yang kami punya.

"Sudah pukul 12 siang! Aku harus pulang dulu, Ko. Kalau ada yang membeli tiket-tiket ini pasti akan aku kabari. Selamat siang."

Riko membalasnya hanya dengan gerakan tangannya yang mengusirku sambil tertawa.

Aku menunggu angkutan umum, di depan gang sekolahku. Siang ini sangat terik. Tak henti-hentinya aku mengelap keringat yang ada di keningku.

"Riana, kan?" Seorang laki-laki dengan helm bercorak merah dan hitam, dengan menggunakan motor merah besar menepi tepat di hadapanku.

"Emmm.." Tanganku menutup cahaya matahari yang menutupi pandanganku, inikan orang yang mirip kak Harry. Kenapa harus bertemu dia disini? Batinku.

"Tidak mengenaliku ya? Aku Ali, teman satu kelasmu di bimbingan bahasa Inggris." Ia mengulurkan tangannya.

"Ali? Oh iyaaaa, aku ingat. Bagaimana kau bisa disini?"

"Sudah, itu tak penting. Kau mau pulang, kan? Mari aku antar." Ali masih mengulurkan tangannya padaku.

"Hah? Kau yakin? Ini hari yang sangat terik, terlalu menyusahkan mengantarku pulang disaat seperti ini." Aku melihat ke arah jalanan. Namun, tak satupun angkutan umum yang lewat.

"Inikan hari jumat, aku yakin para supir angkutan umum yang sedang berada di masjid untuk melaksanakan shalat Jumat. Setelah mengantarmu, aku juga akan pergi ke masjid."

Dia benar juga, pantas saja angkutan umum tidak ada yang aku lihat. "Oke, kau bisa shalat di masjid dekat rumahku."

Andai Dia TahuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang