Kita adalah sepasang sepatu
Selalu bersama, tak bisa bersatu
Kita, mati bagai tak berjiwa
Bergerak karena, kaki manusia"Sini, aku mau denger kamu denger lagu apa." Karis melepas earphone ku, aku membiarkannya dengan berjalan pelan.
"Wah, enak nih lagu. Minjem handphone nya dong." Aku membuka benda persegi panjang itu, membukakan kode dan diberikan pada Karis. Dengan serius, ia mencari suatu aplikasi sambil menyipitkan matanya.
"Tulus, Isyana, Raisa, terus siapa lagi nih?"
"Aku suka lagu-lagu jaman dulu. Apalagi All of Me, ciptaan John Legend. Btw, ini kita nembusnya dimana?" tanyaku dengan mengalihkan topik.
"Nanti di depan ada perempatan, kita lurus, terus ada yang belok."
"Siapa?"
"Ada lah akang-akang di belakang. Tenang, kita masih lurus kok." jawabnya.
Aku berjalan dengan cepat, menyamakan langkah kaki agar bersamaan dengan mereka. Mungkin terlalu tergesa-gesa, sampai aku tidak sadar, tersisa tiga pemuda berjalan dibelakang ku.
"Mau ke rumahku dulu?" tanya Karis.
"Ayok, sudah lama aku gak main lagi." jawab Kang Levi. Temannya satu lagi hanya mengangguk diam.
Aku kadang setuju dengan firasat. Tapi kali ini, aku bertolak belakang dengannya. Sebenarnya, aku sudah merasakan firasat aneh dari semenjak pergi. Aku terdiam sebentar, melihat satu-satu wajah mereka. Tapi, biasa saja. Ah, sudahlah.
"Kenapa?" Suaramu itu membuat ku selalu terkejut, Karis. Aku menjawab dengan gelengan.
"Eh, mau ikut ke rumah apa gimana? Atau aku cegat angkot aja?" tanya nya dengan wajah serius.
Tahukah kalian? Saat itu mukaku sangat merah, entah perasaan apa yang muncul, seperti bunga-bunga memekarkan kelopaknya. Seketika semua hening, yang berjalan pun berhenti, bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.
"Ikut akang aja." jawabku, membuat mereka makin kebingungan.
Aku pikir-pikir lagi, berjalan dengan mereka itu, biasa saja. Namun, mengapa ketika berjalan dengan laki-laki lain, pikiranku selalu aneh?
***Langit memancarkan cahaya jingga, menandakan bahwa suasana itu kembali lagi. Dimana aku terdiam lemas dengan tatapan kosong menghadap ke arah kasur besar. Beberapa helai pakaian berada di atasnya.
"Sekali lagi?" pintanya padaku.
"Heh, ditanya melongo mulu!" bentak Karis membuatku terkejut.
"Gausah ngagetin juga kali."
"Udah mau nyampe tuh, syut diem!" lerai Kang Levi dengan mendaratkan telunjuknya di mulut Karis.
Rumahnya di sebuah komplek. Dekat sekali dengan apa saja. Beda denganku yang mau ke minimarket saja harus menempuh perjalan 1 km. Ya, dia beruntung, rumahnya di kota.
Kami berjalan dan berhenti di depan pagar merah. Dan kami mendapat sambutan dari seorang pria yang sedang mencuci mobil dan istrinya yang tersenyum dari dalam pagar. Aku bingung, seperti orang linglung.
"Main ya?" tanya seorang ibu itu. Aku mengangguk. "Yaudah masuk aja." lanjutnya.
Sialan! Rasanya tidak mungkin aku mendatangi rumah laki-laki, apalagi dia kakak kelasku! Hufh. Kumohon, Tuhan. Dada ini selalu berdebar kencang. Aku takut mereka melakukan sesuatu yang tidak kuduga.
Sesampainya kami di ruang tamu, Karis dipanggil oleh ibunya. Kami menunggu beberapa saat. Kang Levi sedang berbincang dengan temannya. Aku? tetap fokus menatap layar handphone ku.
KAMU SEDANG MEMBACA
雨 (𝐡𝐮𝐣𝐚𝐧)
Teen Fiction[SLOW UPDATE] Hujan. Bagiku, ini hanya sapaan rindu. Yang datang tanpa diminta, dan pergi tanpa kata-kata. Mungkinkah ku bisa, merangkai sebuah kalimat. Agar kau tahu bahwa, sebenarnya.. aku merindukan nya? Sedikit rumit bagimu. Tetapi cukup mudah b...