Bab 14

1.7K 220 16
                                    


Laras terlihat begitu bersemangat memasak di dapur rumah Adrian. Setelah Prilly serta Adrian berangkat tadi ia membantu Wati beberes rumah walaupun wanita itu melarang nya habis-habisan tapi tetap saja Laras memaksa.

Laras merasa tidak enak jika sudah numpang tinggal disini hanya duduk manis berharap dilayani. Dia bukan wanita seperti itu biar bagaimanapun ia tidak berhak atas semua ini karena semua ini milik Ratih almarhumah istri Adrian Ibunya Ali.

Laras menghela nafas ketika mengingat bagaimana sikap Ali pada mereka. Mungkin ia bisa tahan jika Ali menghina dirinya tapi ia tidak bisa tinggal diam jika Ali sudah mulai menyakiti putrinya.

Demi Tuhan, ia dan putrinya hanya menumpang hidup bukan bermaksud mengambil hak Ali. Laras menebalkan mukanya di hadapan Adrian dan Ali untuk bertahan hidup demi putrinya. Laras sangat ingin sembuh agar putrinya tidak sendirian ia ingin mendampingi putrinya sampai Prilly dewasa dan menemukan pria yang benar-benar mencintai putrinya.

"Buk jangan melamun."

Laras tersentak kaget saat tiba-tiba Wati memegang tangannya. "Itu Ibu hampir menggoreng jari ibu sendiri."ujar Wati sambil menunjuk wajan yang sudah sangat panas.

Laras membulat matanya. "Ya Tuhan. Maafkan saya Wati. Maafkan saya." Laras benar-benar merasa tidak enak karena hampir saja membuat kekacauan di dapur ini.

Wati terkekeh geli. "Ya ampun Buk. Biasa aja lagi saya cuma takut Ibu kenapa-napa."jawab Wati.

Laras tersentuh dengan perhatian yang diberikan Wati padanya. "Terima kasih Wati. Terima kasih sudah menerima saya dan Prilly disini."ujarnya penuh haru.

Wati mengangguk lalu menggenggam tangan Laras dengan hangat, "Saya yang seharusnya berterima kasih Buk. Karena kehadiran Ibu dan Prilly akhirnya Tuan Adrian bisa tersenyum kembali."

"Memangnya selama ini Adrian tidak pernah tersenyum?"Laras tidak mampu menahan rasa ingin taunya.

Wati tersenyum miris ia kembali mengingat bagaimana Tuan dan Almarhumah Nyonya-nya dulu menjalin hubungan bahkan ia masih ingat bagaimana Ali kecil yang selalu mengadu kesepian padanya.

"Tuan Adrian dan almarhumah nyonya Ratih tidak bersikap dan berinteraksi layaknya pasangan suami-istri pada umumnya Buk. Bahkan mereka sering mengabaikan kehadiran Den Ali lebih tepatnya Tuan Adrian sibuk dengan pekerjaannya dan nyonya Ratih sibuk meratapi nasib pernikahannya."tutur Wati yang membuat Laras memikirkan nasib Ali.

Ali sungguh malang.

"Walaupun Den Ali memang lebih sering menghabiskan waktu bersama Ibunya tapi tetap saja Nyonya Ratih tidak bisa menyembunyikan kesedihannya di depan putranya hingga waktu bergulir begitu cepat dan Den Ali beranjak dewasa sampai dimana Nyonya Ratih meninggal dan Tuan Adrian tidak hadir maka di sana lah puncak dari semua kebencian Den Ali pada Tuan Adrian dan sekarang beginilah interaksi di antara mereka."Wati menutup ceritanya dengan mata berkaca-kaca.

Laras mengusap lembut punggung tangan Wati, "Saya memang tidak terlalu dekat dengan Den Ali tapi saya benar-benar tulus menyayangi Den Ali Buk."

Laras mengangguk, "Saya percaya Wati. Saya bisa melihat  bagaimana kamu menyayangi Ali."ucap Laras.

Wati menyeka air matanya yang entah kapan menetes lalu menatap Laras dengan senyuman, "Saya benar-benar berharap kehadiran Ibu dan Prilly bisa membawa warna baru untuk Den Ali."

"Semoga Wati. Semoga saja seperti itu."jawab Laras penuh harap.

**

"Silahkan mau pesan apa?"

Setelah melawan perdebatan bathinnya beberapa waktu lalu akhirnya Prilly melangkahkan kakinya menuju meja dimana Ali yang sepertinya sudah tidak sabar menunggu ia 'datangi'.

Mengejar BadaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang