Bab 21

1.7K 224 15
                                    


Setelah menempuh perjalanan pulang selama satu jam lebih akhirnya Prilly sampai di kediamannya Ali. Sebelum memasuki perkarangan rumah mewah ini, Prilly berdiri didepan gerbang sambil menatap rumah Ali yang hampir satu bulan ia tempati.

"Ya Tuhan. Kalau bukan karena Ibu mungkin sekarang aku bakalan masuk dan beresin semua barang-barang aku lalu keluar dari rumah ini."bisik Prilly pada dirinya sendiri.

Prilly kembali menghela nafas, semakin lama disini perasaannya pada Ali semakin tidak menentu pada Ali terlebih ketika melihat Ali begitu dekat dengan Luna meski hanya sebagai sahabat tetap saja ia merasa sakit hati.

Memejamkan matanya Prilly kembali menghembuskan nafasnya secara kasar. Ia benar-benar tidak menyangka pria yang sempat ia benci ternyata bisa semudah ini memasuki hatinya.

"Loh Prilly kenapa berdiri disini? Kok nggak masuk aja."

Prilly menoleh saat mendengar suara seseorang menyapanya. "Eh Mbak Wati, ini aku lagi nikmatin suasana disini iya. Nikmati suasana aja hehe."Prilly menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Wati mengernyit bingung sebelum mengangguk pelan, "Masuk gih! Sakit Ibu kamu kayaknya kambuh lagi."

Prilly membulatkan matanya tanpa menunggu Wati ia segera berlari membuka pintu gerbang lalu berlari menyusuri perkarangan rumah Ali yang sangat luas. Sambil berlari air mata Prilly mulai berjatuhan, demi Tuhan ia benar-benar tidak akan memaafkan dirinya jika sampai terjadi sesuatu pada Ibunya.

Nafas Prilly mulai tersengal-sengal saat dia akan mencapai pintu utama rumah. Prilly membuka pintu rumah dengan tergesa-gesa setelah itu ia kembali berlari menuju kamar Ibunya.

"Ibu.."

Prilly berteriak memanggil Ibunya tepat ketika pintu kamar Ibunya terbuka. Laras menoleh menatap putrinya, "Sayang kamu pulang Nak?"

Prilly segera menghampiri ranjang dimana Ibunya terbaring, hati Prilly berdenyut sakit saat melihat wajah pucat Ibunya. "Ibu kenapa?"Tanya Prilly sambil memeluk Ibunya.

Laras menggeleng pelan,"Ibu tidak apa-apa Nak. Ibu cuma perlu istirahat aja."Ujar Laras menepuk pelan punggung putrinya.

Prilly mengeratkan pelukannya pada sang Ibu, ia yakin kesehatan Ibunya menurun akibat kejadian semalam. Ibunya tidak lagi merasa nyaman tinggal disini terlebih setelah melihat penolakan Ali secara langsung pada mereka semalam.

"Sehat terus Buk. Ibu harus janji berjuang demi aku. Aku juga bakalan berjuang untuk bahagiain Ibu. Ibu harus sehat dan panjang umur ya Buk."Ucap Prilly lembut.

Laras tersenyum sedih, entahlah dia tidak tahu apakah Tuhan berkenan memperpanjang umurnya sampai saat itu tiba. "Tentu Sayang. Ibu doain kamu sukses nantinya. Ibu juga doain semoga Tuhan nyiapin kebahagiaan untuk putri cantik Ibu ini."

"Iihh Ibu. Aku tuh jelek Buk, pendek lagi."Prilly sengaja memanyunkan bibirnya setelah melepaskan pelukannya pada Laras, ia ingin bermanja agar Ibunya lupa dengan apa yang sudah terjadi.

"Siapa bilang putri Ibu jelek? Pendek? Kamu tuh mungil imut Sayang. Gemesin tau nggak."Laras sengaja mencubit pipi putrinya.

Prilly memekik sebelum terbahak-bahak lalu kembali memeluk Ibunya begitupun dengan Laras yang kembali bisa tertawa bersama putrinya.

"Aku sayang Ibu. Sayaaaaang banget Buk."Ucap Prilly sambil mengeratkan pelukannya pada sang Ibu.

Laras tersenyum lembut matanya terlihat berkaca-kaca dengan lembut ia mengusap rambut putrinya, "Ibu juga sayang banget sama kamu Nak. Sayang banget Nak.."

**

Prilly segera turun kebawah setelah selesai bersih-bersih sepulang sekolah tadi. Prilly keluar dari kamar Ibunya setelah Laras tertidur. Prilly terlihat lebih segar setelah mandi, hari ini ia  memakai celana jeans serta kaos lengan pendek warna putih.

Prilly menguncir rambutnya hingga kuciran itu bergoyang saat Prilly menuruni tangga. Setelah sampai di lantai dasar dia segera bergerak menuju dapur untuk menemui Wati.

"Mbak boleh minta nomornya Ali nggak?"Tanya Prilly setelah melihat Wati di dapur.

Wati yang sedang mencuci piring menoleh menatap Prilly, "Boleh Pril. Ambil aja di hape Mbak."Wati menggerakkan kepalanya pada meja dimana ponselnya berada.

"Izin Mbak ya."Ucap Prilly sebelum memegang ponsel Wati dan dia mulai sibuk mencari nomor Ali di kontak ponsel milik Wati.

Setelah mendapatkan kontak nomor Ali ia segera mencatat di ponsel miliknya. "Mbak udah ni ya. Makasih Mbak."Ucap Prilly sambil berlalu dari sana.

"Iya Pril. Sama-sama."

Di lain tempat terlihat Ali yang sedang duduk melamun di salah satu bangku taman. Setelah bertengkar dengan Kevin tadi ia melarikan motornya menuju taman ini. Suasana taman mulai sepi karena hari menjelang sore.

Ali mendesah pelan, ia tidak tahu kenapa dia seperti ini. Semua gara-gara Prilly. Hidupnya benar-benar kacau setelah Prilly dan Ibunya masuk ke dalam kehidupannya.

Benar, Ali menyakini jalan fikirannya itu tapi sudut kecil hatinya menolak mentah-mentah. Prilly dan Ibunya bukan biang masalah dalam hidupnya tapi yang bermasalah disini adalah hatinya yang sempit.

Hati Ali sudah dibutakan oleh kebencian pada sang Papa hingga semua yang berhubungan dengan Papanya ikut di benci olehnya.

"Arrgghh!!" Ali berteriak sambil menjambak rambutnya sendiri.

Kepalanya nyaris pecah memikirkan masalah yang ada di dalam hidupnya. Tak lama kemudian ponsel dalam kantong Ali bergetar, Ali merogoh saku celananya ia mengernyit bingung saat melihat deretan nomor asing di layar ponselnya.

"Siapa sih?"Ali menolak panggilan itu.

Kembali Ali ingin memasukan ponselnya ke dalam saku disaat itu pula nomor asing itu kembali menghubunginya. "Ck! Siapa sih ini."

"Halo! Siapa ini?"Bentak Ali setelah menerima panggilan dari nomor asing itu.

"Kamu dimana?"

Ali mengernyit bingung saat mendengar suara perempuan diseberang sana. "Siapa sih ini? Salah sambung kali lo."Ali berniat memutuskan panggilan namun urung saat seseorang disana menyebutkan namanya.

"Prilly. Ini aku. Ali kamu lagi dimana? Bisa kamu pulang? Aku ingin bicara sesuatu."

"Gue nggak punya waktu buat ngomong sama elo!"jawab Ali kasar.

"Please. Aku mohon, aku beneran pengen ngomong serius sama kamu Li."

Berdecak pelan Ali berniat mematikan sambungan telefon sebelum sebuah ide muncul di kepalanya. "Oke gue bakal nemuin lo. Keluar dari rumah ntar jam 7 malam gue jemput lo di gerbang komplek."

Tutttt...

Ali langsung mematikan sambungan telefon setelah itu. Ali tersenyum puas, ia yakin kali ini rencananya untuk membuat Prilly pergi dari kehidupannya pasti berhasil.

"Lihat saja lo bakalan nyesal pernah kenal sama gue Pril. Jangan salahin gue karena sejak awal gue udah ingetin lo."Ujar Ali dengan senyum culas yang mampu menggambarkan seberapa bencinya Ali pada Prilly.

*****

Mengejar BadaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang