Chapter 15

1.5K 151 14
                                    

Jihoon memijit kepalanya yang sedikit nyeri. Semenjak terbangun dari tidurnya bayang - bayang Guanlin terus menghantui dan membuat kepalanya semakin pusing saja.

Mimpi itu sungguh terasa nyata. Bahkan debar jantungnya yang tak karuan tetap bisa ia rasakan. Namun apa daya kala ia membuka mata yang dilihatnya adalah kamar bernuansa pastel yang merupakan kamarnya sendiri. Ia juga tak mendapati pesan, gelang, maupun boneka pemberian Guanlin yang menegaskan bahwa semuanya memang hanyalah mimpi.

Kenyataannya adalah dia sudah menyerahkan black card itu sesudah perjanjian mereka, nomor ponsel Guanlin pun memang ia miliki karena ia yang memintanya beberapa hari yang lalu.

Jihoon bahkan menghubungi Baekhyun di pagi buta hanya untuk menanyakan perihal penyakit jantung yang dideritanya dan berakhir dengan menceritakan mimpi anehnya. Kekasih Hyung nya itu malah tertawa seusai cerita Jihoon yang kelewat antusias dan menjawab dengan santai 'kau sedang jatuh cinta Jihoon-ah'. Perkataan yang langsung membuat Jihoon mendelikkan mata tak percaya lalu memutuskan panggilan secara sepihak.

"Jatuh cinta? Benarkah?"

"Kenapa harus Guanlin? Bagaimana bisa kau jatuh cinta pada musuhmu sendiri Park Jihoon. Sungguh memalukan." Jihoon menelungkupkan wajahnya pada bantal lalu berguling - guling frustasi.

"Ini pasti tidak nyata. Ya! Perasaan ini hanya bawaan dari mimpi. Pasti! Ah.. ottoke..?"

.
.
.
.
.

"Bagaimana tugas karya tulis mu? Diterima?" Hyungseob bertanya seraya merapikan peralatan tulisnya.

"Begitulah, hanya ada sedikit masalah. Tapi tetap saja seperti biasa, tanpa bantahan." Daehwi menjawab tanpa minat.

"Ho, siapa juga yang berani membantah sang juara bertahan. Mereka pasti kalah jika berani adu argumen dengan mu. Akhirnya kau bisa dibanggakan sebagai kawan." Hyungseob tersenyum jahil lalu menepuk - nepuk pundak Daehwi yang menampakkan wajah malas.

"Jadi selama ini aku tak membanggakan?!" Daehwi mendelik marah namun hanya ditanggapi dengan kedua pundak Hyungseob yang terangkat.

"Kenapa dia?" Daehwi menuding Jihoon yang berdiri tegak di depan kelas dengan dagunya.

"Dia selalu seperti itu akhir - akhir ini. Kau tidak sadar?" Hyungseob menjawab setelah beberapa saat memperhatikan objek tudingan.

"Apa karena Guanlin? Atau karena mimpi - mimpi romantis yang diceritakannya?"

"Ya, tentu saja keduanya. Itu saling berhubungan, bodoh! Kau memang pintar di bidang pengetahuan tapi bodoh dalam hal percintaan. Kau memang tak bisa dibanggakan ternyata." Maki Hyungseob disertai jitakan dengan penuh kekesalan lalu beranjak tanpa bersalah.

"Aku kan hanya bertanya, sewot sekali." Daehwi mengusap jidat yang nyeri akibat jitakan penuh cinta Hyungseob barusan.

"Kau sedang apa?" Hyungseob mengalungkan lengannya pada leher Jihoon yang menegang terkejut.

"Ti - tidak ada. Hanya memperhatikan sekitar." Jihoon menjawab gugup. Matanya bergerak liar menatap satu persatu wajah yang lewat.

"Mencari seseorang? Atau mencari Guanlin?" Daehwi disamping nya ikut bertanya dengan antusias.

"Tidak. Aku tidak mencarinya."

"Kau selalu seperti ini setelah menyadari perasaanmu. Jangan mengelak!" Hyungseob mendelik kala melihat Jihoon membuka mulutnya bermaksud mengajukan protes.

"Aku masih mengingat momen saat kau merona hanya karena Guanlin yang menyentuh wajah pucat mu khawatir. Padahal kau hanya takut mengetahui kebenaran perasaanmu padanya, bukan? Huh, sayang sekali aku tak sempat merekam kejadian itu."

BULLYING [Panwink]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang