Seharusnya, perjalanan dari laboratorium IPA menuju kelas Alan tidaklah membutuhkan waktu lama. Mungkin sekitar lima menitan dia bisa sampai di kelasnya yang berlokasi pada area gedung timur SMA Gempita. Namun, perjalanan Alan harus terhalang karena gerombolan siswi yang memenuhi tangga.Alan paling benci ketika para gadis itu sudah berkumpul mengambil alih fungsi tangga. Harusnya mereka mencari spot terbaik atau paling tidak tempat yang lebih luas untuk bergosip ria. Dan dari depan pintu laboratorium IPA, Alan belum juga beranjak dari tadi. Tugasnya di sini hanya menaruh mikroskop titipan Bu Rina, tetapi malah terjebak dalam situasi menjengkelkan.
Setelah memikirkan banyak pertimbangan, Alan pergi beranjak mengikuti langkah kakinya. Para gadis yang tadi duduk memenuhi semua anak tangga langsung menyingkir. Entah apa sebabnya, tapi Alan tidak akan ambil pusing. Sayup-sayup pembicaraan mereka berganti menjadi namanya ketika Alan mulai menjauh. Banyak yang mengagumi paras tampannya, proporsi tubuh yang sempurna, serta sorot mata yang tajam juga tidak luput menjadi bahan pembicaraan.
Bukan hal baru lagi menurutnya, semenjak kelas satu dulu, banyak gadis sudah mengagumi Alan. Baik yang hanya menatap dari kejauhan, maupun yang terang-terangan mengejarnya. Seperti Nara contohnya, gadis itu adalah salah satu dari sekian banyaknya gadis yang memiliki obsesi untuk mendapatkan hati Alan.
"Harusnya ini puisi dipajang minggu lalu ya." Gerutuan seorang gadis terdengar di depan mading utama sekolah. Dia menaiki kursi untuk memasang kertas hasil karyanya. Entah karena kurang hati-hati, atau memang gadis itu ceroboh.
Kursi yang dinaikinya sudah nampak reyot pada bagian kaki. Secepat kilat, Alan langsung melangkah untuk menolong gadis itu ketika menyadari kursinya akan patah. "Lo nggak papa?" tanyanya dengan napas memburu.
Sepertinya, pemilik bahu yang dia pegang itu masih syok dan tidak bisa menjawab seruan Alan. Kursi tadi lumayan tua, juga sudah memiliki banyak coretan di setiap sisinya. Mungkin ini yang menyebabkan sedikit pijakan saja sudah bisa membuat kursinya patah.
"Nasib baik gue masih hidup."
Helaan napas lega gadis itu terdengar bersamaan dengan dorongan keras yang Alan lakukan. Dia tidak menyangka jika orang yang ditolongnya tadi adalah Argenara, gadis yang harusnya dia hindari.
"Makasih ya, lo udah ... ALAN?!"
Teriakannya langsung berdengung di telinga Alan. Nara baru saja membalikkan badannya dan langsung berteriak histeris ketika tahu Alan yang sudah menolongnya. "Omo omo omo, pangeran dateng nyelametin sang putri," pekiknya lagi.
"Berisik."
Nara menyingkirkan kursi yang patah tadi ke arah tembok bawah mading, sesegera mungkin dia menyelesaikan urusan mading lalu bergegas mengejar langkah Alan.
"Mau ke mana sekarang? Kantin? Toilet? Perpus? Gudang? Ruang Guru? Koperasi? Lab--"
"Neraka, kenapa? Mau ngikut?!"
"Ck, dasar galak. Tambah suka deh," decak Nara beriringan dengan tangannya yang mencubit lengan Alan.
Tidak keras memang, tapi cubitan dari tangan kecil Nara terasa sakitnya di lengan Alan. Menyadari perbuatannya sedikit keterlaluan, Nara lantas meringis disaat Alan menatapnya dengan tajam.
"Heheh, abisnya kamu kalo galak gitu tambah gemesin. Pengen tak cekik deh sekali-kali."
Delikan Alan langsung terarah padanya, "lo bosen hidup?"
"Ngapain bosen hidup? 'Kan ada kamu yang mewarnai hidup aku. Jiakh ... awokwok."
Tidak tahu malu, setelah mencubit Alan, Nara kini menggeplak keras punggung lelaki itu. Seakan penyiksaan lewat cubitan tadi belum cukup makanya Nara membonusinya di punggung.
KAMU SEDANG MEMBACA
'Dari Nara Untuk Alan' [Versi Baru]✔
Novela Juvenil**** Note : proses revisi dan akan direpost secara bertahap Amazing cover by @kaaser Namanya Argenara Prianita, cewek pendek yang selalu bertingkah ganjen dan centil pada Alan. Dia gadis berisik yang mampu membuat orang lain mengurut dada sabar seti...