Bab 10 "Air Mata Arga"

413 33 2
                                    

Semenjak peristiwa kemarin, pak Surya secara resmi mengeluarkan pak Seta sebagai guru Biologi di SMA Nusa Bangsa. 

Keputusan itu diambil melalui rapat para pemegang yayasan yang menilai bahwa sikap pak Seta terhadap Adara sudah sangat keterlaluan dan tidak mencerminkan sikap seorang guru. 

Berdasarkan penjelasan Adara, ia diputuskan tidak bersalah karena pak Seta sendiri sudah sangat mengusik kehidupan pribadi seorang siswa. 

Namun jika kemarin ia memang harus dihukum, ia sama sekali tidak menyesal. Toh yang ia lakukan tidak salah. 

Tapi, ada satu hal yang membuatnya kecewa, yaitu kekasihnya sendiri. Seusai peristiwa itu, Widya selaku ibu Adara dipanggil oleh pihak sekolah namun justru lelaki itu tidak menemuinya. 

Arga hanya menemaninya hingga pulang sekolah saja dan meninggalkannya dengan alasan memiliki urusan penting. 

Lebih penting darinya kah?

Oke, Adara tahu ia egois. Tapi apa salah jika ia membutuhkan Arga disisinya? Ia begini juga karena membelanya 'kan?

Oleh sebab itu, hari ini Adara memutuskan untuk berangkat sekolah diantar oleh Nauval tanpa mengabari Arga sama sekali. 

Adara melangkahkan kakinya menelusuri koridor dengan pandangan berbagai pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya. Ia masih bertanya-tanya, pergi kemana Arga kemarin?

Ia mengulurkan tangannya menyentuh pipi kanannya yang masih terasa nyeri, ia juga sudah berusaha menutupi bekas memar tamparan kemarin menggunakan concealer

"Shhh," ia meringis pelan ketika rasa perih itu terasa. 

Pandangannya teralih pada ponselnya yang sedari tadi bergetar, tanpa ia lihat pun ia tahu itu pasti Arga. 

Sejak semalam, lelaki itu tidak berhenti mengiriminya pesan dan berusaha menghubunginya tapi ia memilih untuk menghiraukannya. 

Sesampainya di kelas XII IPA 1, ia mendapati kelasnya yang masih sepi. Ia memang sengaja datang lebih pagi, ia pun menjatuhkan tubuhnya di kursi. 

"Dara?" Adara menatap sosok Bram dengan tatapan terkejutnya, ia berangkat sepagi ini?

"Lu sendirian?" Adara mengangguk, "lu gapapa kan?" Tanyanya khawatir. 

Adara menyunggingkan senyumnya, "gapapa kok, Bram." Jawab Adara namun membuat Bram meringis ketika melihat memar di pipi Adara yang masih terlihat. 

"Pipi lu? Baikan?" Adara mengangguk, "it's okay, masih keliatan emang?" 

"Sedikit sih," jawabnya. 

Adara menatap Bram penuh selidik, "lu emang biasanya datang sepagi ini, Bram?"

"Emm, ini gua ada jadwal piket makanya datang pagi. Lu kan tau gua ini KM, harus tanggung jawab dong." Jelasnya dengan lancar namun Adara masih mengernyit heran. 

"Tapi kok gua gak pernah tau lu suka dateng pagi kalau piket?" Bram membisu, ia tak terpikirkan Adara akan bertanya ini padanya.

Bram berdeham, "oh itu? Gua suka pergi ke kantin abis piket, cari makan." Jawab Bram tidak sepenuhnya berbohong, ia berharap Adara mempercayainya.

Adara hanya mengangguk tak mau berpikir macam-macam, lagi pula bukan urusannya. 

"Lu sendiri, kenapa kok sendirian? Arga bukannya belum datang?" 

"Tau darimana Arga belum datang?" Tanya Adara, "motornya belum keliatan di parkiran." Jawab Bram. 

"Hmm, gua dianter bang Oval." Bram menautkan alisnya, "ada masalah sama Arga ya?" Tanya Bram tepat sasaran. 

ARDARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang