Dimas menjatuhkan tubuhnya ke kursi. Dia mendesah melampiaskan frustasi sambil mengacak-acak rambutnya. Puluhan lembar foto berserakan di hadapannya, karya fotografer-fotografer profesional yang dia pekerjakan dan sudah dia bayar mahal. Cukup satu foto saja yang dibutuhkan untuk diajukan dalam proposal besok. Cukup satu, tetapi yang dia dapatkan di atas meja kerjanya hari ini hanya tumpukan sampah.
"Ini foto-foto yang terakhir."
Nabilla, asistennya masuk ke dalam ruangannya sambil membawa foto-foto baru. Tangan Dimas terulur untuk meraih gambar-gambar tersebut. Dia memperhatikan foto-foto itu satu demi satu, tetapi sama saja. Foto pertama tidak terlalu bagus. Foto kedua tidak lebih baik dari yang pertama. Foto ketiga bahkan lebih buruk. Setelah foto keempat, Dimas malah enggan untuk melihat yang lainnya. Kedua alisnya berkerut mewakili kegelisahannya. Dia bertanya kepada Nabilla, "Foto dari Rana?"
"Nihil. Aku belum ketemu Rana hari ini."
"Rana gak datang ke studio hari ini? Sudah coba dihubungi?"
"Gak bisa dihubungi. Teleponnya mati."
"Pergi kemana sih anak itu?"
Nabilla mengangkat kedua bahunya, mengisyaratkan ketidaktahuannya. Tanpa berkata apa-apa lagi, asistennya itu pergi meninggalkan ruangan, membiarkan Dimas berkutat sendiri dengan kegelisahannya.
*****
Pada saat yang sama, Rana memarkir mobil Jeep miliknya dengan sembrono di depan pintu masuk studio. Dia keluar dari mobil dengan terburu-buru. Sebelum mengunci pintu, dia menyempatkan diri meraih map plastik dari kursi belakang. Dia berlari kecil, menerobos pintu masuk dengan sebelah tangan, sementara tangan satunya mengepit erat mapnya.
"Sore, Rana. Apa gak salah nih? Yang lain udah mau pulang tauuu. tapi kamu baru datang." kata Cika, resepsionis studio yang menyambut kehadirannya.
Rana memamerkan senyum kucing di wajah ovalnya. Dia bertanya, "Dimas ada?" Namun, belum sempat Cika menjawab, terdengar suara tinggi Nabilla dari belakang mereka.
"Ya ampun, Rana! Dari mana aja sih?!" Perempuan itu datang menghampiri. "Gue udah ngubungin lo ratusan kali hari ini, tapi gagal melulu."
"I can explain ---"
Nabilla memotong ucapan Rana dengan cepat. "Nanti aja jelasinnya. Dimas ada di ruang kerjanya sekarang. Kalau masih mau karya lo dipakai, sebaiknya lo cepet temui dia sekarang!"
"Okay, Thanks," jawab Rana. Tanpa menyia-nyiakan waktu lebih lama lagi, dia berlari menuju ruang kerja atasannya itu di lantai dua.
*****
"I have it with me Dim!" Rana berseru heboh sambil menyerbu masuk ke dalam ruang kerja Dimas. Tangan perempuan itu menyodorkan beberapa lembar foto kepada Dimas. "Count me in." pintanya setengah memaksa sambil tersenyum lebar memamerkan gigi rapihnya.
Dimas melirik fotografer juniornya itu dengan tatapan tajam. Seperti biasa, penampilan perempuan itu nyaris seadanya. Kaos polos, dengan celana jeans, dan rambut sepundaknya dikuncir ekor kuda. Tubuh Rana beraroma cairan developer. Berapa lama perempuan itu di dalam kamar gelap?
"Lo telat, Rana!" Dimas berkata kesal.
Perempuan bertubuh mungil di hadapan Dimas itu tersenyum lebar, senjata yang selalu digunakannya untuk menyelamatkan diri dari kemarahan sang atasan. "Sorry." Dia berkata dengan nada menyesal. Namun, setelah itu, suaranya kembali antusias. "But... I bet you're gonna love these."
Rana menggelar foto-foto yang dibawanya di atas meja. Dimas berusaha untuk tidak peduli, tetapi mau tidak mau pandangannya teralihkan ke arah foto-foto milik Rana. Dia memandangi gambar-gambar itu satu per satu dengan seksama. Kedua alisnya berkerut, sementara tangannya terlipat di dada,
Pada akhirnya, Dimas menyerah. Dia mendesah pelan lalu mengangkat kedua tangannya ke udara. "Belasan artis, puluhan karya, tapi tetap gak ada yang sebaik lo, Rana." Dia berkata jujur, membuat sepasang mata Rana yang bulat indah menyerupai safir hitam berbinar senang.
Rana kembali tersenyum lebar. "So.... am I in?" Perempuan itu bertanya penuh semangat.
"Yap. lo terpilih." Dimas menjawab malas-malasan. Harus dia akui, terlepas dari sikapnya yang selalu seenaknya sendiri, Rana memang berbakat.
"Thank you boss!"
"Ya.. Ya. Sekarang, jelasin ke gue konsep dasar karya lo ini."
"Nanti." Rana bersikap tidak acuh. Perempuan itu bersiap-siap untuk pergi lagi. Dia berkata, "I have to go now! Gue harus ngambil gambar lagi. Cahaya matahari lagi bagus."
Dimas tidak diberi kesempatan untuk membalas. Rana menghilang dengan cepat di balik pintu ruangan. Dimas tertawa maklum. Tangannya meraih cangkir kopi, yang tanpa dia sadari isinya sudah tinggal setengah. Sementara pandangannya kembali tertuju pada foto-foto karya Rana di hadapannya.
Farana Asyifa Rashad. Rana. Pertemuan pertamanya dengan perempuan genius itu terjadi dua tahun lalu di New York. Saat itu, Rana yang masih berstatus mahasiswi jurusan fotografi ikut serta dalam sebuah pameran foto.
Kali pertama Dimas melihat karya amatir Rana, dia langsung menyadari bakat perempuan itu. Tentu saja dia tidak akan membiarkan bakat sebesar itu melintas pergi dari depan matanya. Dia mengajak Rana untuk bergabung di studionya segera setelah perempuan itu kembali ke Indonesia. Terhitung hingga hari ini, Rana sudah setengah tahun bekerja dengannya.
Namun, ada satu hal yang tidak dia mengerti mengenai Rana. Dengan bakat sebesar itu dan dukungan dana --yang tentu saja bukan masalah besar jika mengingat kekayaan keluarga Rashad-- sebenarnya Rana bisa mendirikan sebuah studio sendiri yang dapat diperhitungkan di Asia. Dimas pernah menanyakan soal ini kepada Rana dan jawaban perempuan itu benar-benar tak terduga.
"Memangnya kalau gue minat, lo bakalan rela ngelepas gue?"
Senyum Dimas tersimpul tipis saat mengingat kembali perkataan Rana. Dia juga masih ingat lanjutannya.
"Gue suka fotografi, Dimas. That simple. Selama gue bisa berkarya, dimana pun tempatnya, buat gue nggak jadi soal."
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Love (Complete)
Teen FictionRana, dijodohkan dan ditunangkan oleh kedua orangtuanya. Tanpa dasar cinta dan murni karena alasan bisnis. Calon tunangannya, Adrian. Seorang eligible bachelor tampan yang paling diinginkan di Jakarta. Lelaki yang tidak bisa melepaskan kenangan masa...