Their Plan

1.2K 50 7
                                    

"Ah, batu ini seperti yang pernah kulihat di Jakarta Design Center." kata Santi Rashad.

"Onyx. Hanya ada tiga di Jakarta, yaitu di JDC, rumah Syahrir Tanjung di Dempo, dan di rumah ini." Liana Tanuan Wijaya menjawab dengan bangga. Dia dan suaminya merupakan pasangan konglomerat berusia setengah baya, sedang menerima kunjungan teman lama mereka. Santi dan Muid Rashad. Selesai menyantap makan malam bersama, mereka mengajak para tamu berkeliling melihat-lihat rumah mereka yang baru saja direnovasi. Tidak setiap ruangan karena akan butuh sehari penuh untuk bisa menjelajahi seluruh pelosok rumah tersebut.

Rumah mereka yang terletak di daerah Menteng itu memiliki luas lebih dari seribu meter persegi dengan nilai hampir seharga delapan puluh miliar rupiah. Semua bahan yang digunakan diimpor dari luar. Keramik, batu alam, perabot, bahkan pohon palem di pelataran rumah itu tidak satu pun berasal dari dalam negeri.

Kini, keempatnya berdiri di ujung aula berukuran lima belas kali tiga puluh meter persegi. Memperhatikan salah satu dinding yang terbuat dari batu onyx.

"Batu ini tembus cahaya." Adnan Tanuan Wijaya menyambung perkataan istrinya. Lelaki itu menekan sebuah tombol, memperlihatkan keindahan batu yang mereka banggakan. Cahaya kekuning-kuningan muncul dari lampu-lampu yang tersembunyi dan dinding tersebut seolah-olah bersinar dari dalam. Kedua temen mereka berdecak kagum.

"Bagus juga dan tidak mahal-mahal banget kok. tetapi lumayan repot mencari batu onyx sebesar dan sebanyak ini. Apalagi mencarinya yang tidak retak." Adnan berkata lagi sambil tertawa renyah. Selesai bicara, lelaki itu melangkah ke luar ruangan diikuti oleh yang lain.

"Rumah kalian menarik, Nan. Siapa arsiteknya? Kebetulan aku juga sedang berpikir untuk merenovasi rumahku." tanya Muid seraya berjalan di samping Adnan.

Liana melihat suaminya sambil mengerutkan kedua alis. Tentu saja, dia yang mengurus seluruh renovasi rumah mereka. Suaminya tidak tahu apa-apa, hanya menyediakan dananya saja. "Ah, siapa nama arsitek kita ma?" tanya suaminya.

"Irawa," jawab Liana. "Itu lho, yang merancang townhouse di Kemang. Tidak terlalu besar juga kok biayanya. Kemarin, untuk gambar saja kami hanya keluar tujuh puluh juta. Nanti biar kumintakan alamat dan nomor teleponnya pada Bram ya." Bram adalah sekretaris keluarga mereka. Masih muda dan sangat cekatan, sudah seperti agenda berjalan baginya dan bagi Adnan.

Liana melirik jam di pergelangan tangan kirinya, lalu dia mengalihkan pembicaraan mereka. "Wah, koktail kita sudah siap nih, yuk kita ke ruang minum."

"Kalian duluan saja. Aku mau ke taman sebentar." Adnan menolak dengan halus. Liana tahu alasan di balik itu. "Pasti mau merokok ya?" tebaknya.

"Kamu masih merokok Nan?" Santi bertanya sebelum Adnan sempat mengelak.

Adnan tertawa sambil membela diri. "Hanya sesekali saja, San." Lalu dia mengalihkan perhatian kepada Muid. Adnan menepuk bahu temannya sambil tersenyum penuh arti. "Ada bisnis yang ingin kutawarkan. Kita ngobrol di taman saja biar lebih santai." ajaknya. Kedua lelaki itu pun melangkah ke taman, sementara Liana mengajak Santi ke ruang minum.

Adnan dan Muid adalah dua dari sedikit pengusaha sukses di Jakarta. Aset keluarga mereka masing-masing tidak terhitung, tidak akan habis walau dimakan sekian generasi. Keluarga besar Tanuan Wijaya mendominasi industri properti dan jasa distribusi di Indonesia sejak puluhan tahun yang lalu. Sementara, keluarga besar Rashad memiliki begitu banyak hak waralaba asing dan bisnis perhotelan.

Sebelum menikah, Santi dan Liana juga berasal dari keluarga pengusaha, bukan sekadar menebang kekayaan suami mereka saja. Liana bahkan masih menyimpan sejumlah aset atas namanya sendiri. Sementara Santi memang memilih melepas semua milikya untuk diurus oleh sang suami.

Bittersweet Love (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang