Reza berada di apartemen Rana. Dia belum beranjak dari tempat itu setelah semalaman menemani Rana sepulang mereka dari Pecinan. Dia bisa memperkirakan bagaimana keluarganya dan keluarga Rana bereaksi terhadap keputusan Rian, maka dia menghubungi Andrea dan menanyakan situasi.
"Rian dan mama kamu masih berada di perpustakaan, tapi aku rasa Tante Liana tidak akan bisa membuat Rian berubah pikiran." jawab Andrea. "Gimana kabar Farana? Apa dia baik-baik saja?"
"Rana?" Reza melirik pintu kamar Rana. Pintu itu masih tertutup rapat sejak Rana memasuki ruangan tersebut. "Rana masih di kamarnya. Sudah sejak kemarin malam. Mungkin masih tidur." Dia memberi tahu.
"Baguslah. Dia membutuhkan itu. Aku dan Bram sedang menyiapkan konferensi pers untuk mengumumkan hal ini. Begitu media tahu, beberapa hari ke depan akan menjadi hari-hari yang melelahkan untuknya. Tapi, tidak lama. Lalu, semua akan berakhir."
Andrea menyudahi pembicaraan mereka. Reza mematikan ponselnya, lalu terdiam. Dia kembali mengawasi pintu kamar Rana. Entah apa yang sedang Rana lakukan di balik papan pintu kamarnya. Tidak ada suara tangisan dari dalam sana. Tidak ada suara apa pun. Karena itu, Reza mengkhawatirkan keadaan Rana.
Kemarin, dia menjemput Rana tepat pukul lima di Pecinan seperti permintaan Rian. Dia mendapati perempuan itu meringkuk di salah satu sudut kompleks tua tersebut. Sendiri. Bergeming memeluk erat-erat kamera dan ransel. Ekspresi perempuan itu tidak terbaca.
'Rian membatalkan pertunangan kami, Rez.'
Hanya itu yang Rana katakan begitu melihatnya datang. Reza tidak berkata apa pun untuk menanggapi Rana. Dia mengambil tempat di sebelah Rana, lalu mereka berdiam diri di sana sampai malam tiba. Dia mengantar Rana kembali ke apartemen saat udara mulai terasa dingin.
Reza menghampiri kamar Rana. Dia mengetuk pintu yang memisahkan mereka dua kali. Dengan suara lembut, dia memanggil perempuan itu. "Rana?"
Hening beberapa lama, lalu Rana menjawab pelan, "Ya?"
"Lo baik-baik aja?" tanya Reza.
"Ya."
"Gue pergi dulu. Nanti gue datang lagi. Lo mau gue bawakan sesuatu?"
"No. Thanks."
Reza mengangguk. "Oke. Telepon gue kalau lo butuh sesuatu." Dia menunggu balasan, tetapi kali ini Rana tidak menjawab. Reza mengambil semua barang bawaannya. Setelah itu, dia meninggalkan apartemen Rana.
*****
Seperti yang Andrea katakan, ketegangan masih mewarnai kediaman Keluarga Tanuan Wijaya. Liana menghisap rokok di tangan dengan gusar. Sudah hampir satu jam dia ribut dengan Rian di perpustakaan, tetapi kata-katanya tidak sanggup membuat anak tertuanya itu berubah pikiran. Mulutnya melepaskan asap beraroma tembakau ke udara, lalu dia berkata kepada lelaki muda yang duduk di tengah ruangan.
"Kamu tidak bisa melakukan ini kepada Mama, Yan. Keluarga Rashad adalah relasi bisnis kita yang paling penting. Pertunangan kalian tidak boleh batal." katanya.
Rian mendesah. "Berapa kali harus aku jelaskan ma? Aku dan Farana tidak saling mencintai."
"Sejak kapan pertunangan kalian butuh cinta? Tanpa itu pun kalian tidur bersama, kan?" Liana memberi penekanan pada nada bicaranya saat mengungkit kejadian pada malam pertunangan anaknya. "Kamu tahu ini cuma bisnis, Yan."
Rian tertawa getir. Sambil tersenyum pahit, Rian berkata "Justru karena ini bisnis, aku tidak bisa melakukannya."
"Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba kamu menjadi sentimental?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Love (Complete)
Teen FictionRana, dijodohkan dan ditunangkan oleh kedua orangtuanya. Tanpa dasar cinta dan murni karena alasan bisnis. Calon tunangannya, Adrian. Seorang eligible bachelor tampan yang paling diinginkan di Jakarta. Lelaki yang tidak bisa melepaskan kenangan masa...