"Rana, ini gue Nabilla."
Lagi-lagi, mesin yang menjawab telepon di apartemen Rana yang belakangan sering kosong.
"Gue nggak tahu lo lagi sibuk, atau entah apa yang lagi lo gelutin sekarang. Tapi, Dimas butuh foto itu besok. Jadi, please segera diperbaiki."
Rana keluar dari kamarnya tepat sebelum pesan Nabilla berakhir. Sebuah ransel tersampir di bahunya. Tangannya menggenggam kamera. Rana baru saja akan berangkat berburu foto dan dia benar-benar lupa mengenai perbaikan yang disebutkan oleh Nabilla tadi. Dia menggerutu. Rana memutuskan membatalkan rencananya, lalu pergi ke studio.
Beberapa hari belakangan, keinginannya untuk memotret terasa begitu kuat. Dia sampai tidak ingat dengan pekerjaannya di studio. Dia bisa menghabiskan sehari penuh di kamar gelap atau pergi memotret sampai tidak lagi ada cahaya. Kemarin, dia mencuci belasan rol film, lalu mencetak ratusan lembar foto. Sehari sebelumnya, dia pergi dari satu gedung ke gedung lain hanya untuk mengambil gambar Jakarta dari ketinggian. Dia bahkan berencana melakukan perjalanan ke sejumlah tempat yang sejak dahulu ingin dia abadikan menggunakan kamera dan dia sudah mulai menyusun jadwal.
Rana sadar. Dia sedang gelisah karena sesuatu. Seakan-akan waktunya segera habis dan dia tidak akan bisa lagi memotret. Dia tidak pernah seperti ini sebelumya. Semakin dia memikirkan masa depannya dengan Rian, semakin dia takut melepaskan fotografi.
*****
Dimas menyadari kegelisahan Rana itu.
Dia memasuki ruang kerja Rana yang tidak terkunci. Rana belum tiba di studio pagi ini. Ruang kerja perempuan itu berantakan, penuh gambar. Entah ada berapa banyak foto yang berserakan di atas meja kerja, tercecer di lantai dan menempel di dinding. Beberapa hari ini, perempuan itu mencetak begitu banyak foto. Seperti sedang dikejar waktu.
Dengan berhati-hati, Dimas melintasi ruangan. Dia menghampiri meja kerja Rana, lalu meraih sebuah foto yang diambil oleh perempuan itu di Yogyakarta. Foto Kauman, perumahan Indis yang tersembunyi di kota artistik tersebut. Dia menggeleng-geleng dan tersenyum. Rana selalu menghasilkan karya yang luar biasa, yang kaya akan kisah dan mampu merenggut napas siapa pun.
Dimas masih ingat foto pertama Rana yang dia lihat pada sebuah pameran fotografer amatir di New York. Dia pesimis saat datang ke acara tersebut. Seringnya, pameran fotografer amatir tidak membuatnya terkesan. Dan, kenyataannya semua karya yang disuguhkan dalam acara tersebut memang tidak istimewa.
Semua, kecuali satu.
Dia tertegun di hadapan karya yang satu itu. Jantungnya berdebar. Tubuhnya tegang. Dia seperti habis disengat listrik. Sesaat, dia lupa bernapas.
'Who took this pisture?' Pertanyaan itu melundur spontan dari mulutnya.
Seorang perempuan Indonesia bertubuh mungil yang berdiri di sampingnya menimpali. 'Why? Is it bad or good? I mean, the picture.'
'It's marvelous!' bisik Dimas. Lalu, perempuan bertubuh mungil itu tertawa kecil.
'Well, that's mine.'
Begitulah dia mengenal Rana.
Baginya, Rana seperti mutiara di antara lautan pasir cokelat. Walau menunggu sepuluh tahun pun, belum tentu dia akan menemukan fotografer seperti perempuan itu lagi.
"Dimas."
Pintu ruang kerja Rana diketuk pelan, lalu Nabilla muncul.
"Adrian Wijaya menunggu di lobi."
*****
Rian berdiri di tengah lobi studio Dimas Aditya. Dia memperhatikan foto yang ditempel di permukaan sebuah panel besar di hadapannya. Rian tidak terlalu mengerti fotografi, tetapi dia bisa membedakan karya yang biasa dengan karya berkualitas. Foto di hadapannya, jelas memiliki kelas yang berbeda.
![](https://img.wattpad.com/cover/200856203-288-k857679.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Love (Complete)
JugendliteraturRana, dijodohkan dan ditunangkan oleh kedua orangtuanya. Tanpa dasar cinta dan murni karena alasan bisnis. Calon tunangannya, Adrian. Seorang eligible bachelor tampan yang paling diinginkan di Jakarta. Lelaki yang tidak bisa melepaskan kenangan masa...