Hampir pagi dan Meira belum juga beranjak dari bibir jendela kamar apartemennya. Dia tidak tidur semalam. Berjam-jam, dia duduk di sana sementara sepasang matanya menjangkau jauh ke luar jendela dengan lelah. Ponsel di hadapannya berbunyi pelan, mengingatkannya akan panggilan masuk yang tidak terjawab. Belasan panggilan masuk dan dia memang tidak berniat menjawab.
'Le Rendez-vous des Belges.'
Meira belum lupa ekpresi Rian bertahun-tahun yang lalu saat dia menyebut nama kedai kopi tersebut. Lelaki itu menatapnya sambil menaikkan alis. Kala itu, mereka baru saja saling mengenal lewat sebuah pegalaran busana di Paris.
'They have great coffees.' Dia menjawab kebingungan lelaki itu dan memberi tawaran yang mengawali semuanya. 'Pick me up at eight and I will show you the place.'
Satu minggu Rian berada di Paris. Setiap pagi, lelaki itu menjemputnya, lalu mereka minum kopi bersama di Le Rendez-vous des Belges, sebuah kedai kecil yang berada di sudut Gare du Nord. Kedai kopi itu sederhana dengan desain interior bernuansa kayu yang hangat.
Dua cangkir kopi hitam dan espresso Lavazza, serta serangkai obrolan ringan lebih dari cukup untuk membuat mereka saling tertarik. Sejak itu, Rian mulai mengunjunginya setiap satu-dua bulan selama tiga tahun. Kebersamaan mereka indah, sempurna. Lalu, Meira sadar apa yang harus dia lepaskan untuk bisa bersama dengan seorang Adrian Tanuan Wijaya.
Dia memilih untuk meninggalkan lelaki itu.
Meira menghela napas. Kopernya sudah rapi dan tiket untuk dirinya pulang ke Paris sudah disiapkan oleh Ales. Namun, meninggalkan Jakarta kali ini tidak semudah sebelumnya. Barangkali, itu disebabkan semua belum berakhir di antara dia dan Rian walaupun Meira menyangka sudah.
*****
Dalam kamar gelap yang temaram dan berbau cairan kimia, Rana meremas-remas ponsel di tangannya. Sesekali dia melirik layar perangkat elektronik tersebut yang berpendar putih kebiru-biruan, memandangi nama Rian dan nomor lelaki itu. Dia ingin menelepon lelaki itu, tetapi khawatir dengan tanggapan yang akan dia dapatkan. Sudah lewat empat hari sejak mereka berpisah di pelataran apartemennya. Selama itu juga dia dan lelaki itu tidak berhubungan. Rian tidak memberi kabar sama sekali dan itu membuat Rana diliputi frustrasi.
"Rana!"
Lamunannya menguap. Rana menoleh ke arah pintu kamar gelap yang setengah terbuka. Dia melihat Dimas berdiri di batas ruangan dengan raut wajah datar seperti biasa. Atasannya itu bertanya sambil menunjuk ke arah wastafel yang kerannya mengucurkan air. "Udah berapa lama foto itu lo dinginkan?"
Rana terbelalak. "Oh!" Dia memekik begitu menyadari sesuatu. Lekas dia mematikan keran itu, lalu mengangkat selembar foto berukuran 10R yang sedang didinginkan. "Shoot!" makinya.
Dimas tertawa sinis. "Berhenti melamun, Ran." Lelaki itu menyindir. "Selesain dulu semua kerjaan lo yang tertunda seminggu ini."
Rana balas tertawa, tetapi hambar. Dimas membawanya turun kembali ke bumi. Saat ini dia sedang berada di studio, berusaha keras menyelesaikan pekerjaannya yang terbengkalai. Namun sial, dia justru lebih tertarik melakukan hal lain.
"Yeah, later. I'm not in the mood." Jawabnya.
Dimas pun mendesah kesal. "Emangnya lo lagi ngapain sih?" tanya Dimas kemudian.
"Gue lagi nyetak foto-foto yang gue ambil di Yogya." Rana menjelaskan sambil menggantung sebuah foto pada seutas tali untuk dikeringkan. Foto Rian saat mereka mengunjungi Kauman.
"Ah, I see." Dimas mengangguk-angguk. Ekspresi atasannya itu semakin sinis. "Lo tau, Ran? Lo akan kehilangan impian lo karena lelaki ini."
"Lo ngomong apa sih?"
![](https://img.wattpad.com/cover/200856203-288-k857679.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Love (Complete)
Teen FictionRana, dijodohkan dan ditunangkan oleh kedua orangtuanya. Tanpa dasar cinta dan murni karena alasan bisnis. Calon tunangannya, Adrian. Seorang eligible bachelor tampan yang paling diinginkan di Jakarta. Lelaki yang tidak bisa melepaskan kenangan masa...