Espresso, Lavazza

720 39 4
                                    

Dering telepon apartemen Rana samar terdengar dari arah ruang tengah. Rana tidak menggubris. Dia sedang sibuk membersihkan lensa kameraya di kamar maka dibiarkannya mesin yang menjawab panggilan tersebut.

"Rana, ini aku." Terdengar suara berat milik Rian meninggalkan pesan. "Maaf, sepertinya kita tidak bisa pergi hari ini. Ada rapat yang tiba-tiba harus aku datangi. Nanti aku hubungi kamu lagi, ya."

Rana terkejut mendengar itu. Buru-buru, dia keluar ruangan. Tetapi telepon dari Rian sudah berakhir. Dia berdiri setengah mematung di ambang pintu dengan raut kesal. Hampir satu jam dia habiskan untuk menyiapkan peralatan memotretnya, lalu Rian membatalkan kencan mereka begitu saja.

"Oh! I hate you, Rian!" gerutunya kesal.

Sekali lagi, telepon apartemennya berbunyi. Rana segera menerima panggilan itu, masih dengan perasaan kesal, "YA?"

"Aduh, Ran." Kali ini terdengar suara Reza. "Pagi-pagi kok mood lo udah jelek gitu?"

"Reza?" Suara Rana berubah lunak begitu mengenali lawan bicaranya. Dia mendengar Reza tertawa menanggapinya.

"Iya, ini gue." jawab lelaki itu. "Ada acara nggak hari ini, Ran? Salsa dan yang lain ngajakin ketemu nih."


*****

Rana segera melaju dengan Jeep miliknya menuju Plaza Semanggi. Reza dan teman-teman mengajaknya bertemu di salah satu kafe di mal tersebut. Saat dia tiba, empat sekawan itu sudah berkumpul. Meja mereka dipenuhi banyak makanan dan minuman.

"Farana Asyifa Rashad, selamat yaa atas pertunanganmu!"

Edwin memberinya selamat begitu mereka bertemu. Seperti biasa, lelaki itu menyunggingkan senyum renyah.

Rana balas tersenyum lebar.

"Sori ya, kita nggak bisa datang ke acara kamu kemarin." Salsa berkata. Mahasiswi yang duduk di samping Rana itu memperlihatkan raut penyesalan. "Reza mengajak kami, tapi aku tidak bisa membayangkan berada di tengah-tengah kalangan atas seperti kalian." lanjutnya.

"Iya, Ran. Yang seperti itu bukan dunia kita. Bisa terlihat tolol nanti." sambung Idham disertai tawa.

Rana dan yang lain ikut tertawa menanggapi gurauan Idham, lalu Edwin angkat bicara. "Ada berita bagus nih, Ran." Mata lelaki itu tertuju pada Rana. "Kita menang tender dan foto lo akan segera dipakai."

Suasana hening sejenak. Rana balas menatap Edwin sambil membelalak. Dia sulit percaya. Dia tersenyum. "No way!" ujarnya. Lalu, dia melirik ke arah Reza meminta penjelasan.

Reza mengangguk mantap. "We got it, Rana. Thanks to you." kata lelaki itu. Rana melepaskan tawa senang yang disusul oleh teman-teman barunya.

"Ayo, Rana! Kita rayakan!" ujar Idham di sela-sela ramai tawa mereka. "Hari ini kita yang traktir."

"Sebelumnya, bersulang dong! Bersulang, Dham!" pinta Salsa setengah berteriak, begitu terbawa suasana.

Idham menuruti permintaan Salsa. Lelaki itu bangkit berdiri. "Oke oke. Kita bersulang!" Idham mengangkat gelas berisi jus jeruk di tangannya. "Karena ada anak kecil di antara kita, cukup bersulang jeruk." ujar lelaki itu, mengundang tawa teman-temannya.

"Aku maksudnya?" gerutu Salsa dan tawa Idham semakin keras.

Reza merangkul bahu Salsa dengan gemas. "Ya, siapa lagi?" Lelaki itu mengacak-acak rambut Salsa, membuat gadis di dekapannya berteriak histeris.

"Ah! Jangan rambut aku!" Seruan Salsa itu tidak dipedulikan sama sekali. "Reza! You're dead!" ancamnya dan mereka semua kembali tertawa.

Tidak ada yang sadar. Di tengah-tengah suasana akrab tersebut, Salsa tersipu-sipu saat dirangkul oleh Reza. Pipi Salsa luar biasa merah, senyumnya rikuh, matanya tidak berhenti memandangi lelaki itu. Tidak ada yang sadar, kecuali Rana.

Bittersweet Love (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang