"Parah juga hujan hari ini." Idham berkomentar.
Reza berdiri diam di hadapan jendela rumah indekosnya, sementara ketiga temannya sibuk berdiskusi di tengah ruangan. Dia menatap ke luar jendela, memperhatikan hujan yang tidak berhenti mengguyur Jakarta beberapa hari ini. Dihisapnya rokok di tangan untuk melawan dingin, lalu dia membiarkan pikirannya bersafari.
Dia belum menemui kakaknya lagi sejak peristiwa di Pakubuwono tempo hari. Ada sedikit rasa menyesal di hatinya, tetapi Rian memang pantas menerima pukulan itu. Bukan karena telah membohonginya selama ini. Namun, karena kakaknya itu bisa memiliki Rana meskipun tanpa cinta.
Dia cemburu. Begitu cemburunya sampai dia tidak kuasa menahan keinginannya untuk memukul Rian.
Mulutnya melepaskan asap rokok ke udara. Sekarang, setelah dia mengetahui semuanya, apa yang bisa dia lakukan? Sejauh yang dia sadari, Rana dan Rian tetap bertunangan.
"Kalau hujan nggak berenti juga, Jakarta bisa banjir lagi nih." Terdengar Edwin berkata demikian menanggapi Idham. "Kayak tahun 2002 dulu."
Reza tetap diam. Dia tidak peduli apakah Jakarta banjir seperti dulu lagi atau tidak, tetapi dia memang berharap hujan berhenti secepatnya. Baru kali ini dia merasakan keinginan yang begitu besar untuk menemui Rana.
Baru kali ini dia berani menginginkan Rana.
*****
"Rana, gimana kondisi kamu? Hari ini Mama datang ke apartemen kamu agak sore ya. Deras sekali hujan di Pondok Indah."
Rana mendengar suara ibunya meninggalkan pesan di telepon. Sejak Rian memberi tahu perempuan itu mengenai kondisi kesehatan Rana, Perempuan itu datang menjenguknya setiap hari membawakan makanan dan menemani Rana beberapa jam di apartemen.
Malas-malasan, Rana membuka mata. Tubuhnya masih bersembunyi di dalam selimut flanel yang tebal, menghangatkan diri dengan manja di atas tempat tidurnya yang nyaman. Dia melirik ke luar jendela kamar tidurnya lewat sela-sela tirai yang tersingkap. Hujan memang belum berhenti, padahal sudah lewat dua hari.
"Rian sudah datang menjenguk kamu lagi?" tanya ibunya.
Rana mendesah kesal mendengar pertanyaan itu. Dia menggerutu dalam hati. Jangankan menjenguk, Rian bahkan tidak menelepon. Lelaki itu sedang sibuk dengan Meira, barangkali.
Tidak lama setelah ibunya selesai meninggalkan pesan, telepon kembali berbunyi. Sebuah panggilan lain masuk. "Rana." Kali ini, Nabilla yang menghubunginya. Lagi-lagi, mesin yang menjawab.
"Hari ini studio tutup. Tapi, kalau kondisi lo sudah jauh lebih baik, tolong datang karena ke sini karena air hujan meluap masuk."
Seketika, Rana terbelalak.
"Tapi, lo gak perlu khawatir. Semua gambar lo udah disimpan di lantai dua. They are save." Nabilla berkata lagi sebelum mengakhiri telepon.
Dia cepat-cepat bangkit. Rasa pusing di kepalanya terlupakan begitu saja, kalah oleh rasa panik yang tiba-tiba muncul. "Gawat!" serunya, lalu dia beranjak dari tempat tidur. Dengan gontai, diambilnya pakaian dan handuk. Setelah itu, dia berjalan cepat masuk ke kamar mandi.
Dia harus pergi ke studio segera. Hasil pemotretannya saat di Yogya ada di gudang bawah tanah dan Nabilla tidak tahu itu.
*****
Sudah hampir dua jam Rian duduk ditemani Andrea di sebuah kedai kopi dekat kantor mereka. Andrea sedang membacakan draf proposal yang akan diajukan kepada klien untuk tender terbaru mereka. Namun, lebih dari setengahnya tidak didengarkan oleh Rian. Suara hujan dari luar kedai cukup mengganggu. Lebih mengganggu lagi, bayangan pertengkarannya dengan Reza di Pakubuwono beberapa hari lalu terus berulang di kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Love (Complete)
Подростковая литератураRana, dijodohkan dan ditunangkan oleh kedua orangtuanya. Tanpa dasar cinta dan murni karena alasan bisnis. Calon tunangannya, Adrian. Seorang eligible bachelor tampan yang paling diinginkan di Jakarta. Lelaki yang tidak bisa melepaskan kenangan masa...