Mata Rian terbuka perlahan. Dia memperhatikan jam pada meja kecil di sisi kanan tempat tidurnya. Pandangannya masih buram. Samar-samar, dia membaca angka di layar jam itu. Baru pukul enam pagi, tetapi ponselnya sudah berbunyi sejak tadi. Dia mendesah kesal. Malas-malasan, dia mengulurkan tangan untuk meraih ponselnya di antara lipatan selimut, lalu menjawab dengan suara parau yang lebih mirip gumaman.
"Ah! akhirnya kamu bangun juga."
Rian mengenali suara lawan bicaranya. Dia mengerutkan alisnya. "Andrea?"
"Aku mau ingatkan jadwal kamu hari ini." kata Andrea.
Bagi Rian, Andrea sudah seperti agenda berjalan. Selama ini dia tidak pernah membuat jadwal sendiri. Semua dilakukan oleh Andrea dari mulai rapat sampai rencana main golf. Perempuan itu yang menerima semua telepon dari klien, mengatur janji, dan menentukan tempat pertemuan rapat. Rian tinggal mengikuti. Hanya saja, hari ini adalah hari Minggu.
"Aku membuat janji pada hari Minggu?" tanya Rian.
Dia mendengar Andrea tertawa di seberang sana. "Entah apa jadinya kamu tanpa aku, Yan." kata sepupunya itu. "Hari ini kamu bakalan ketemu sama Farana Asyifa Rashad. Rana."
"Ah." Hanya itu tanggapan Rian. Dia membiarkan Andrea melanjutkan. "Jam empat sore di Tea House. Aku sudah menyiapkan hadiah perkenalan. Nanti aku antarkan sebelum makan siang ke rumahmu."
"Jam empat? Apa nggak terlalu awal untuk makan malam?"
"Malamnya kamu harus menghadiri jamuan makan malam yang diadakan oleh Sofyan Tanjung." Andrea mengingatkan.
"Ah, ya benar. Aku lupa."
"Jangan lupa untuk menelepon Farana sebelum kalian bertemu. Apa kamu perlu menggunakan supir hari ini? Kamu udah tau Tea House dimana?"
Rian melepaskan tawa kecil karena pertanyaan-pertanyaan Andrea. "Letak Tea House di Senayan. Ya, aku tahu Dre. Dan aku bawa mobil sendiri hari ini." jawabnya.
"Oke. Semoga kencanmu menyenangkan."
******
Pesawat telepon di apartemen Rana berbunyi, memancing sang pemilik keluar dari kamar gelap. Sambil membawa satu lembar foto yang baru selesai dicetak, Rana menghampiri meja di salah satu sudut ruang tengah, lalu menerima panggilan tersebut.
"Halo. Rana disini."
"Farana, aku Adrian. Adrian Tanuan Wijaya." kata seseorang yang memiliki suara berat di ujung lain sambungan. Tanpa sadar, Rana menahan napas begitu tahu siapa lawan bicaranya.
"Oh. Hai." Dia menjawab dengan canggung.
"Kita ada janji sore ini di Senayan?" tanya pemilik suara itu.
"Jam empat di Tea House." Rana membenarkan.
Lawan bicaranya bertanya lagi, "Aku perlu jemput kamu atau kita bertemu di sana?"
"Emm.. aku masih ada sedikit urusan yang belum selesai di studio siang ini. Kalau kamu nggak keberatan, kita langsung ketemu di Senayan aja." jawab Rana.
"Oke. Sampai ketemu kalau gitu."
"Bye.."
Rana kemudian terdiam setelah pembicaraan mereka berakhir. Dia membeku di tempatnya berdiri. Rupanya, ini benar-benar nyata. Adrian Tanuan Wijaya dan Rencana pertunangannya dengan lelaki itu. Tiba-tiba saja, perasaannya kini dipenuhi suatu emosi yang tidak dapat dia pahami.
*****
Dimas mandapati Rana sedang sibuk membingkai sebuah foto saat dia masuk ke ruang kerja perempuan itu. Foto di tangan Rana menggambarkan pemandangan Kota Paris dalam nuansa hitam putih, hasil jepretan Rana sendiri. Foto itu diambil dari ketinggian dan menyorot pada salah satu kawasan hunian lama yang klasik. Rana duduk menghadapi meja, ditemani beberapa buah jeruk mandarin kesukaan perempuan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Love (Complete)
Teen FictionRana, dijodohkan dan ditunangkan oleh kedua orangtuanya. Tanpa dasar cinta dan murni karena alasan bisnis. Calon tunangannya, Adrian. Seorang eligible bachelor tampan yang paling diinginkan di Jakarta. Lelaki yang tidak bisa melepaskan kenangan masa...