"Yes, Ales. The flight arrived on time."
Meira berbicara lewat telepon di tengah suasana bandara yang riuh. Dia melangkah keluar dari terminal kedatangan Bandara Soekarno Hatta dengan sebuah koper kecil di tangan. Pesawat Cathay Pasific yang membawanya dari Paris baru saja tiba di Jakarta. Dia melambaikan tangan, menghentikan sebuah taksi yang melintas di teras bandara.
"May cab is here. I'll contact you later." katanya. Lalu, dia mengakhiri pembicaraannya dengan Ales. Sopir taksi yang dia panggil membantunya memasukkan koper ke dalam bagasi.
"Belezza, Permata Hijau." Dia memberi tahu tujuannya.
Kendaraan itu pun melaju. Meira melayangkan pandangan keluar jendela di sampingnya, menatap bangunan bandara yang memanjang di sisi kiri. Serangkaian kenangan lama pun bermunculan.
Setahun lalu, dia berada dalam taksi lain dengan arah berlawanan. Mobil Rian mengejarnya di belakang, menyalakan lampu sen berkali-kali sebagai isyarat memintanya berhenti, tetapi Meira tidak memedulikan lelaki itu. Ponsel miliknya terus berbunyi, lalu akhirnya justru dia matikan.
Meira masih ingat saat Rian memanggil namanya di teras bandara. Dia tidak melihat ekspresi Rian saat itu, tetapi suara lelaki itu terdengar begitu putus asa. Dingin, adalah sikap yang dia berikan sebagai balasan. Tidak sekali pun dia menoleh. Dia terus melangkah sampai suara Rian tidak terdengar lagi.
Sudah satu tahun berlalu, tetapi entah mengapa kenangan itu begitu mudah muncul kembali. Dia sendiri yang memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka, tetapi justru penyesalanlah yang akhir-akhir ini terus mengusik.
Meira menghela napas berat. Rasanya, dia ingin kembali ke Paris saat ini juga. Dia ingin secepatnya meninggalkan Jakarta.
*****
Rian duduk menyendiri di kamar. Penampilannya rapi dengan jas dan dasi. Matanya menatap ke luar ruangan lewat jendela di sebelahnya. Tangannya menggenggam segelas wine yang hampir kosong.
Tidak seharusnya dia menenggak minuman itu. Dia mudah 'tinggi' saat minum wine dan ibunya tidak pernah suka bila mulutnya berbau alkohol saat berhadapan dengan relasi-relasi mereka. Namun, Rian merasa membutuhkan minuman itu saat ini.
Malam ini, kediaman keluarganya dipenuhi sejumlah kerabat dan relasi penting. Mereka mengadakan pesta dan mengundang banyak tamu untuk merayakan pertunangannya dengan Rana. Mereka menghias aula, menyiapkan jamuan makan malam dan menyewa orkes kecil.
Bertunangan dengan seseorang yang baru dia kenal kurang dari satu bulan bukan perkara gampang. Walaupun dia dan Rana sudah sedikit saling mengenal lewat beberapa pertemuan mereka, tetap saja pertunangan itu tidak dilandasi oleh perasaan apa pun. Entah bagaimana Rana menyikapi hal ini. Bagi Rian, hubungannya dengan perempuan itu hampir seperti transaksi bisnis.
Hampir.
*****
Di kamar sebelah, Rana berdiri tegang di hadapan cermin. Dia memperhatikan dirinya sendiri dalam balutan gaun malam. Setengah mati dia berusaha untuk tetap tenang, tetapi keringat dingin tidak juga berhenti keluar membasahi telapak tangannya.
Tidak lama lagi, dia akan bertunangan. Dia sempat mengintip ke dalam aula saat para tamu undangan mulai berdatangan. Begitu banyak orang yang hadir, kebanyakan dari mereka adalah para pemilik aset terbesar di Jakarta. Mereka berkumpul malam itu di kediaman keluarga Tanuan Wijaya dan itu membuat perut Rana mulai terasa mulas.
"Kenapa ekspresi kamu seperti itu sih, Rana?"
Suara Rian membuatnya terkejut. Rana menatap lewat cermin, lalu mendapati Rian berdiri di ujung kamar. "I'm nervous." jawabnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Love (Complete)
Fiksi RemajaRana, dijodohkan dan ditunangkan oleh kedua orangtuanya. Tanpa dasar cinta dan murni karena alasan bisnis. Calon tunangannya, Adrian. Seorang eligible bachelor tampan yang paling diinginkan di Jakarta. Lelaki yang tidak bisa melepaskan kenangan masa...