Part 2

90.9K 1.4K 8
                                    


Pagi ini Diana sudah rapi dengan setelan yang menampilkan dengan indah pahatan ditubuhnya yang menawan. Dia tidak suka berbodi slim layaknya artis korea. Beruntung dia tidak harus bersusah payah untuk membentuk bodynya agar ideal. Semuanya sudah diberikan dengan instan dari Tuhan. Dada yang berisi penuh, pinggul dan bokong yang mampu membuat lelaki bertekuk lutut menginginkannya. Mereka selalu menyamakan tubuh wanita itu dengan Megan Fox.

Diana sangat membenci kata telat, semua akan kacau jika tak sesuai jadwal. Waktu adalah sesuatu yang sangat berharga dalam hidupnya. Seperti pagi ini, walau sedang menikmati sarapan paginya, indranya tetap menatap layar pipih dihadapannya. Melihat perkembangan saham saat ini dan berita terbaru merupakan sarapan istimewanya disetiap pagi. Hot news pagi ini cukup menyita perhatiannya. Segera dia meraih telepone menguhubungi seseorang.

"Papa ada dimana sekarang?" tanya Diana pada seseorang diseberang sana.

"Tuan sedang diruangannya, Bu Diana. Ada yang bisa saya sampaikan?" Ucap wanita yang merupakan asisten Andrew -Ayah Diana-.

"Lima belas menit lagi aku akan sampai. Jangan beri tahu papa." Perintahnya, pada asisten pribadi Andrew.

"Tapi Bu, Tuan tidak bisa di gang...," Diana langsung memutuskan panggilan tanpa menunggu wanita itu selesai bicara, Diana tak ingin ada orang menghalangi niatnya untuk bertemu Andrew pagi ini.

"Papa berhutang penjelasan padaku!" ucapnya menatap berita pada layar dihadapannya itu. Diana memang sudah hidup terpisah dengan Andrew, semenjak kepergian Alicia sang ibu. Diana hanya merasa perlu melakukannya. Andrew tidak sendiri, dia bersama Lillo Humprhrey Bogart adik laki-lakinya yang kini masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA).

Diana memasuki mobil yang sudah siap membawanya menuju kantor milik Andrew Humphrey Bogart, sang papa. Tepat lima belas menit mobil mewah itu tiba di depan kantor si ditektur.. Para karyawan yang sudah mengenalnya segera memberikan hormat dan senyum sapa, saat Diana melintasi mereka. Ia hanya acuh, terlalu membuang waktu menurutnya jika harus menyapa mereka. Dia terlalu fokus memikirkan berita yang menggangu pikirannya pagi ini.

"Di mana papa?" tanya Diana pada asisten Andrew.

"Tuan ada di dalam. Tuan tidak bisa diganggu, Bu." ucap wanita yang bertubuh mungil itu dengan takut. Namun Diana tidak menggubris ucapannya. Dia tetap saja mendorong pintu itu hingga terbuka dan menampakkan lelaki paruh baya yang masih terlihat tampan walau sudah berkepala empat, sedang memijit pelipisnya. Andrew mendongak melihat anak gadisnya dan melemparkan senyum hangat seorang ayah.

"Apakah kehadiran anak mu ini sangat menggangu mu, Pa?" Tanya Diana sembari mendekati papanya. Andrew meraih anak gadisnya ke dalam pelukan dan memberikan kecupan hangat dipucuk kepalanya.

"Duduklah dulu." ucap Andrew memberikan ruang untuk Diana duduk.

"Papa berhutang penjelasan padaku." Ucap Diana.

"Papa masih bisa menghandle semuanya, Diana." Andrew sesantai mungkin. Namun Diana tidak terlalu bodoh mengartikan kerutan saat masuk tadi.

"Ayolah, Pa. Sejak kapan Papa meragukan kemampuanku?" Ucap Diana mulai tak sabar.

"Tidak Diana. Ini masalah Papa. Papa tidak ingin kau terlibat."

"Dan membiarkan anak perusahan papa gulung tikar? Papa tidak lupa perusahaanku lah yang paling besar menerima dampaknya, setelah perusahan ini." Walaupun ada emosi yang hampir meledak, namun kata-kata Diana hampir tanpa ada tekanan sama sekali.

"Papa sedang memperhitungkan semuanya Diana, percaya lah."

"Perhitungan saja tidak akan cukup, tanpa adanya pikiran yang mendukung. Papa sedang kacau." Terlihat Andrew kembali menekan pelipisnya dan kini tangan itu beralih menekan-nekan keningnya. Diana menyentuh tangan cinta pertamanya dengan perlahan, mencoba mengalirkan semangat dan kehangatan untuknya. Tatapan teduh putrinya, membuatnya mengingat mendiang istrinya. Mata itu adalah warisan Alicia kepada putrinya. Walaupun dengan sifat yang bertolak belakang. Alicia wanita yang lembut penuh kehangatan dan kasih sayang. Namun semangat yang diberikan Diana, selalu bisa membuat suasana hati Andrew lebih baik.

"Oke, tapi kamu tidak bisa melewatinya sendiri. Kau butuh seseorang yang akan selalu mensuport langkahmu." Andrew yang kini memegang tangan putrinya dan menatapnya dengan lembut.

"Sebutkan orangnya, biar aku mempekerjakannya, dan akan membayarnya lebih tinggi bila perlu."

"Papa ingin kamu menikah!" ucapan Andrew membuat Diana terasa dipermainkan.

"Pa, kita tidak sedang bercanda." Diana menjauhkan tangannya, dan kini bersandar di sofa.

"Papa tidak sedang bercanda. Yang kamu perlukan suami yang akan mendukung dan melindungimu untuk melakukan tugas ini." Andrew menatap wajah putrinya yang tidak menunjukkan kesepakatan. Terlihat Diana enggan sekali menuruti permintaannya.

"Aku tak bisa. Aku masih bisa melakukan sendiri tanpa harus menikah." Kini tangan Diana menyilang didada. Menatap lurus kedepan, mencoba menahan sesak dan sakit yang tiba-tiba menyeruak.

"Dia menginginkan mu, Diana. Inilah tujuan awalnya. Menghancurkan perusahaan ini, dan berharap Papa akan menyerahkan mu sebagai gantinya. Papa tidak ingin kamu menikah dengan pria brengsek itu." Terlihat Diana mengerutkan keningnya, dan segera mengerti arah pembicaraan itu.

"Siapa orangnya?" tatapan Diana menghujam Andrew. Walaupun dia ayahnya, namun Andrew sedikit terkejut dengan tatapan anak gadisnya yang selalu membuat dia bangga dan dia benar-benar menyadari bahwa putrinya tumbuh dengan sangat cepat dan cantik.

"Dean Anderson, anak dari Robert Anderson. Dia mengajukan syarat untuk menikahi mu, dan akan mengembalikan keadaan perusahaan ini kembali seperti semula." Terdengar lenguhan kasar dari Andrew. Berat sekali baginya untuk membagi beban ini pada putrinya. Diana sudah terlalu banyak menderita, dia ingin kebahagiaan putrinya. Dan Andrew tahu, Dean bukan kebahagian yang tepat. Mengingat Diana dan Dean pernah menjalin kasih dan Dean meninggalkan putrinya saat mereka terpuruk.

"Brengs*k, baj*ngan itu benar-benar membuatku muak." Andrew menarik Diana kepelukannya menyandarkan kepala anak gadisnya didadanya.

"Menikahlah, Papa tidak ingin kamu menjadi budak lelaki itu." Diana melingkarkan tangannya di pinggang Andrew, dan Andrew mencium pucuk kepala Diana lemat.

Sungguh dia tidak ingin mengorbankan anak gadisnya pada pria brengs*k itu. Apapun akan dia lakukan, sekalipun harus memulai dari awal kembali. Harta dihidupnya yang paling berharga adalah Alicia, Diana dan Lillo. Dia tidak takut untuk menggembel kembali. Ancaman Dean tidak akan berarti apa-apa untuknya.

♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡

Kali ini aku kasi ekstra-ekstra part...

Ayo, udah dapat belom karakter Diana.

Sungguh aku di buat puyeng jadi Diana.

DIANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang