Terbayang langit biru dibatasi jendela kaca matiKala undangan luar datang mereka terselip di sana menanti
Tak jarang berhambur jatuh karena tak pernah kuingini
Lalu di sana, di sebelahnya telepon di meja terus berbunyi
Tak jarang suaranya enggan kubedakan dengan aku yang merintih
Lalu, dia yang tak pernah mengerti itu datang lagi
Aku bukanlah tempat untuk dia singgahi, kuharap dengan kakinya ia melangkah pergi
Tapi tidak, kakinya malah sibuk berderu dengan tangannya yang sibuk di sisi jendela kaca mati
Aku berteriak sudahi, tapi ia seperti tuli
Aku bilang pergi, tapi ia tetap gigih
Aku menggertak pasti, tapi ia kemudian menangis lirih
“Kamu punya bahagia yang menunggu” katanya dengan suara tinggi
“Aku tak sanggup” katanya menambahi
“Aku tak sanggup melihatmu tenggelam dalam duniamu yang sedih”
Kemudian tanpa kusadari,
Entah sudah goresan keberapa yang ku buat di gelang-gelang jemari
Yang kuyakini merahnya mengalir lebih deras dari pagi tadi
Bahkan entah sudah berapa ratus lembar tisu yang basah kemudian kering lagi
Mereka menyatu dalam lara, sedih dan air mata di sini
Aku tak tahu,
Aku tak tahu jika dunia yang dulunya ku cintai akan seperti ini
Jendela kaca mati itu kemudian pecah jadi serpih,
Dalam pandangku yang kabur kulihat ia berlari
Sayang aku tak pernah sadar, harusnya sudah lama jendela itu ku ganti
Tapi aku malah di sini, memungkiri dalam sepi, terbunuh oleh duniaku sendiri.
-Chanisalia-