Enam

4.1K 262 0
                                    

Bu Hani yang masih panik langsung mengambil HP-ku yang sedari tadi aku letakkan di meja. Setelah menelepon mamaku, bu Hani meletakkan HP-ku di tempat semula. Aku hanya berharap Juno tahu. Kalau sudah seperti ini aku sedikit menyesal mengapa aku tidak berakting saja, aku tak tahu kalau akan sesakit ini jadinya. HP-ku bergetar dan dilayar terdapat nama ‘my brother’ aku langsung membuka SMS itu karena takut dilihat bu Hani dan beberapa temanku yang ada di dekatku dan membalas agar segera ke kelasku.

“Siapa, Lan?” tanya bu Hani.

“Mama, bu... sakit banget bu...” seruku yang terus merintih.

Tak lama kemudian Juno masuk kekelasku. Dia sendiri, tanpa papa. Aku mulai kecewa. Dengan refleks teman-temanku menyingkir dan membuka jalan untuk Juno.

“Lo serius?” tanya Juno panik.

Aku hanya mengangguk dan merintih kesakitan. Juno langsung mengangkat tubuhku. Bu Hani mencoba menghentikannya.

“Juno! Apa-apaan kamu! Ibu sudah menelepon mamanya dan dia sedang diperjalanan sekarang!” seru bu Hani.

“Sekarang bukan waktunya nunggu! Ibu nggak lihat dia udah kesakitan!” seru Juno sedikit membentak karena panik, lalu menggendongku ala bridal-style dan berjalan cepat.

Bu Hani dan beberapa teman sekalasku mencoba mengejar Juno hingga keluar gedung kelas 10. Ternyata ada papa. Mama pun baru tiba. Mereka yang saling melihat hanya diam tak bergerak dengan hal yang sangat tak mereka duga sebelumnya. Mata mereka saling mengunci, sedangkan wajah Juno semakin mengeras. Tapi aku mengabaikan mereka. Perutku semakin sakit. Bu Hani dan teman-temanku berhenti.

“No time! Don’t ask! Stay with me!” seru Juno, sebelum semua menggelap.

***

Juno POV

Aku membawanya ke mobil. Membawa adik yang selama ini kukira telah meninggal. Adik yang seharusnya bisa kujaga. Adik yang seharusnya bisa menjadikanku sandaran ketika dia membutuhkan sesuatu. Melihat matanya yang terpejam membuatku semakin merutuki diriku sendiri. Aku membawa mobilku kalap.

Sedangkan papa dan mama satu mobil yaitu menggunakan mobil papa. Aku langsung membawa Bulan ke rumah sakit terdekat. Setelah di periksa di UGD, dia dipindahkan ke ruang inap.

“Bintang... benar kamu Bintang?” tanya mama yang menangis dan meraba wajahku.

Sebisa mungkin aku menahan tangis. Tapi gagal, aku Juno-sang-preman-sekolah tetaplah manusia, tangisku pecah ketika melihat wanita yang berdiri di hadapanku mengeluarkan air mata.  Wanita pertama yang sangat aku sayangi menangis. Mama memelukku. Pelukan hangat yang sangat kurindukan selama 10 tahun.

“Mama...” ucapku yang langsung memeluk mama, “Mama...”

Katakan aku lemah, kesedihan yang selama ini aku pendam seolah sirna dalam sekejap pelukannya.

***

Aku yang masih sedikit lemah menangis melihat kejadian yang mengaharukan di hadapanku. Ini bukan acara sinetron ataupun FTV. Ini bukanlah skenario yang diciptakan seorang manusia. Ini adalah skenario yang Tuhan ciptakan untuk melihat seberapa keras umatnya berusaha. Ini kenyataan, kenyataan hidup keluargaku, keluarga Artadinata.

Setelah keadaan cukup tenang, mama dan papa duduk di sofa. Sedangkan kak Bintang duduk dikursi dekat bed-ku. Banyak yang ingin aku tanyakan pada mereka. Tapi hanya diam, diam, dan diam yang kini dapat kulakukan hingga kak Bintang memecah keheningan.

“Kami butuh penjelasan...” ucap kak Bintang.

Satu kalimat yang aku dan kak Bintang tunggu selama ini. Satu kalimat yang bisa menjadikan kami bersatu kembali atau dapat meruntuhkan semua harap. Satu kalimat yang membuat kami semua mengenang masa lalu. Satu kalimat beribu harap. Satu kalimat yang menakutkan tapi sangat dibutuhkan. Satu kalimat yang akan berujung pada satu pilihan, haru atau luka.

It's Not A DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang