Tujuh Belas

3.5K 214 0
                                    

Aku dan Vio hanya mengobrol hingga sore. Ketika kak Bintang datang, Vio langsung pulang.

"Kak, Delvan nggak telepon kakak ya?"

"Nggak, dek. Kenapa?" tanyanya yang menghentikan aktivitasnya.

"Aku khawatir aja, kak. Terakhir kan dia sakit."

"Yaudah kamu telepon aja ya!" saran kak Bintang yang memberikan HP-nya.

"Hai, Lan..." suaranya sedikit berbeda.

"Hai, Van, gimana keadaan kamu?"

"Masih sedikit sakit sih, tapi besok juga baikan kok. Kamu kangen aku ya? Oh ya, sorry banget sepertinya malem ini aku nggak bisa ke rumah sakit."

"Kangen sih dikit. Yaudah jangan dipikirin, kamu istirahat aja. Besok kalo masih sakit jangan sekolah, istirahat di rumah aja."

"Iya deh, kamu juga istirahat ya. Belum boleh keluar dari rumah sakit, kan?"

"Iya, kata mama biar sekalian istirahat. Yaudah kamu istirahat gih, suara kamu lemes banget gitu."

"Iya deh, makasih ya! Love you!"

Malam harinya papa dan mama ke rumah sakit. Kami berempat hanya bercanda bersama, sepertinya papa dan mama berniat untuk membuatku melupakan masalahku. Dan sepertinya mereka cukup berhasil. Aku sangat mengerti bahwa mereka mengkhawatirkanku. Jadi aku berusaha tak mengungkit apapun lagi. Awalnya kak Bintang ingin menginap di rumah sakit, tapi aku melarangnya karena besok dia harus sekolah, jadi mama yang menemaniku.

Senin siangnya aku sudah berada di rumah. Tapi tetap saja mama memperlakukanku seolah aku masih sakit. Aku yang sama sekali tidak menyukai bubur dipaksa untuk memakannya. Padahal aku sudah memberitahu mama kalau aku memakan bubur rumah sakit karena suatu keharusan, bukan karena aku menerimanya dengan senang hati. Tapi sebagai anak yang baik aku tetap menuruti perintah mama walau dalam hati berjanji tidak akan memakan bubur lagi kecuali dengan alasan yang benar-benar penting.

Dan tiba-tiba aku kembali mengkhawatirkan Delvan. Nanti sore setelah kak Bintang pulang, aku akan langsung mengajaknya ke rumah Delvan! Ketika jam pulang sekolah, Vio sudah berada di rumahku.

"Lan, gua jamin lo pasti kaget denger cerita gua!" serunya yang cukup histeris dan langsung mengambil minuman yang baru diantar bi Minah.

"Cerita apa?" tanyaku yang tidak tertarik. Pasti cerita tentang Fahri!

"Renata dan Natasha dikeluarkan dari sekolah!!" serunya yang membuatku terbelalak kaget.

"Serius lo? Kok bisa? Jangan bilang karena masalah gua ini?!"

"Iya sih, Lan. Tapi selain itu, untuk Natasha, dia udah jual HP lo ke temen dia jadi itu dianggap sebagai tindak pencurian, selain itu karena ternyata dia itu klepto! Korbannya udah banyak loh! Sedangkan Renata, dia itu jahat banget, dia suka bully orang, korbannya banyak ada yang dibotakin, terus wajahnya jadi rusak karena kena lem tembak, ada yang sampai depresi, pidah sekolah, yang paling parah salah satu korbannya ada yang ngelakuin percobaan bunuh diri tapi untungnya selamat. Pokoknya dia itu psikopat banget deh. Karena kasus lo ini mereka juga baru berani lapor."

"Bukannya kak Juno juga sering nge-bully orang?"

"Kalo kak Juno bukan nge-bully tapi beneran preman sekolah, korbannya yang masuk rumah sakit udah nggak keitung tapi ada sebabnya juga itu karena korbannya memang salah. Dan dia itu gentle masih ngehormatin cewek!"

"Wait deh, lo tau semua ini darimana? Gua yakin pihak sekolah nggak akan ngasih tau ke anak-anak satu sekolahan, kan? Jangan bilang lo nguping mereka!"

"Eh enak aja, sebagai sahabat lo gua diminta jadi saksi juga. Selain anak-anak yang diminta jadi saksi itu nggak ada yang tau kok. Para saksi itu juga udah disuruh ngerahasiain masalah ini. Jadi, anak-anak lain taunya mereka berdua pindah ke Jogja."

"Untung deh, kasian juga mereka, udah pindah, image-nya buruk lagi."

"Oh ya, Lan, kak Delvan kemana sih? Tadi kok nggak ada? Padahal harusnya dia juga jadi saksi."

"Delvan nggak sekolah? Kemarin sih dia sakit dan gua bilang kalo dia masih sakit istirahat di rumah aja, hari ini juga gua belum kontakan sama dia."

"Get well soon deh buat Delvan-nya! Gua balik deh, Lan, oh ya besok lo sekolah, kan?"

"Aamiin. Makasih, Vi! Insyaallah sekolah deh. Eh kado lo ada disana tuh. Ambil sendiri aja ya!" ucapku yang menunjuk sebuah kotak kado.

"Nggak sweet banget sih sahabat gua ini!" gumamnya yang langsung mengambil kado itu.

Sebuah puzzle photo yang seharusnya aku berikan di hari ulang tahunnya. Aku menunggu kak Bintang di kamar. Ketika dia datang aku langsung mengajaknya ke rumah Delvan. Ternyata kak Bintang sama khawatirnya denganku. Dan ketika kami tiba di rumahnya ternyata Delvan tidak ada. Kata satpam di rumah Delvan, Delvan di rumah sakit sejak semalam. Saat itu juga aku dan kak Bintang langsung panik.

Tanpa bertanya lebih lanjut kami langsung menuju rumah sakit yang sama seperti tempatku di rawat kemarin. Setelah mengetahui ruangan Delvan kami langsung menuju ruangannya, sepanjang jalan kak Bintang menggenggam tanganku erat. Ternyata Delvan sedang tidur, tante Jihan dan om Ferdinant juga berada disana. Om Ferdinant memberi isyarat pada kami untuk bicara di luar.

Ketika kami duduk di kursi depan ruangan Delvan, tante Jihan tiba-tiba menangis. Wajah om Ferdinant menjadi lebih sedih tetapi tetap mencoba menenangkan istrinya. Aku dan kak Bintang hanya saling berpandangan. Ya Rabb, tolong jangan biarkan aku mendengar kabar buruk tentang keadaan Delvan. Genggaman kak Bintang semakin erat.

"Tante, sebenarnya ada apa?" Kak Bintang memberanikan diri untuk bertanya.

Tante Jihan tidak menjawab dan tetap menangis dipelukan suaminya.

"Tante, Delvan kenapa?" tanyaku yang ikut menangis.

"Kanker pankreas stadium akhir." Satu kalimat yang berusaha diucapkan tante Jihan.

Satu kalimat yang membuat aku tak bisa membendung air mataku. Satu kalimat yang membuat seorang Juno menahan tangis, walaupun air mata itu tetap lolos. Satu kalimat yang mematahkan sebuah kebahagiaan baru untukku, dan mungkin juga untuk Delvan.

"Tante bohong, kan?" seru kak Bintang yang mengalihkan pandangannya dari kami.

"Bintang..." kata tante Jihan dengan nada memohon, "sebelum pindah kesini kanker itu sudah stadium 2. Dan kanker pankreas memang menyebar lebih cepat. Delvan pernah dikemo beberapa kali setelah itu dia menolak melakukannya lagi, katanya Allah sudah mengatur takdir setiap manusia. Sekeras apapun kami membujuknya dia tetap menolak dikemo lagi."

"Sebelum pindah kesini, Delvan sudah tidak pernah ceria. Dia menjadi lebih tertutup. Dia meminta agar kami pindah ke Indonesia, paling tidak sampai semuanya berakhir. Karena dia mau dekat dengan kamu lagi, Bintang. Kamu sudah seperti kakaknya sendiri." jelas om Ferdinant.

Kak Bintang tetap mengalihkan pandangannya dan tidak menatap kami sama sekali.

"Apa nggak ada cara lain agar Delvan sembuh, tante?" tanyaku yang masih menangis.

"Operasi untuk kanker stadium akhir kemungkinan berhasil hanya sekitar 10 persen hingga 15 persen." jawab tante Jihan yang terlihat putus asa.

Kak Bintang memelukku dan membenamkan wajahku di dada bidangnya. Napasnya yang memburu berusaha ditahannya. Lalu, kami semua masuk ke ruangan Delvan. Delvan masih tertidur. Orang tua Delvan pergi menemui dokter yang menangani Delvan. Aku duduk di kursi dekat Delvan dan menggenggam erat tangan Delvan, sedangkan kak Bintang berdiri dan terus menatap Delvan.

Kami hanya diam dengan perasaan berkecamuk. Air mataku tak hentinya keluar. Sedangkan kak Bintang hanya melamun dan terkadang memejamkan matanya.

Ya Allah, apa yang sedang Engkau rencanakan? Cobaan apalagi yang ingin Engkau berikan pada kami? Ya Allah, aku tahu semua yang Engkau rencanakan adalah yang terbaik untuk kami, tapi haruskah kami kehilangan orang yang kami sayang? Ya Allah, aku tahu seharusnya aku tak boleh mengeluh apapun yang terjadi. Ya Allah, izinkan Delvan tetap berada disisi kami. Tetap bersama kami...

It's Not A DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang