Delapan Belas

4.9K 265 17
                                    

"Hai, bro! Hai, Lan! Kalian udah tau ya?" tanya Delvan yang sudah terbangun, tetap dengan senyumnya.

Kak Bintang mengalihkan pandangannya dari Delvan. Sedangkan aku menggenggam tangannya lebih erat mengisyaratkan kekhawatiran.

"Kamu tenang aja, aku nggak apa-apa kok, Lan!" balasnya santai, "bro, lo kenapa? Sedih gitu. Santai aja."

"Kenapa kamu nolak untuk dikemo?" tanyaku tajam.

"Kemo itu nyakitin tubuh aja, aku nggak suka. Lagipula aku nggak suka lihat mama sama papa sedih setiap nemenin aku dikemo. Allah pasti udah nentuin yang terbaik untuk aku..."

"Tapi Allah nggak suka lihat hambanya yang pesimis duluan padahal dia belum berusaha..."

"Aku udah berusaha, tapi aku nggak mau coba untuk yang satu itu. Udah ah jangan dibahas lagi, mending bahas topik lain aja. Oh ya, gimana Renata dan Natasha?"

Aku menceritakan ulang apa yang tadi Vio ceritakan. Selama aku bercerita, Delvan hanya memperhatikanku. Sedangkan kak Bintang tetap diam dan tidak beranjak dari tempatnya. Ketika hari mulai malam kami pulang. Kak Bintang hanya bicara seadanya.

Setiap hari sepulang sekolah aku ke rumah sakit, begitu juga dengan kak Bintang. Walaupun tidak selalu berangkat bersama. Vio juga sudah mengetahui tentang penyakit Delvan. Karena sejak hari pertama aku mengetahui penyakit Delvan, aku langsung ke rumah Vio setelah dari rumah sakit dan menangis sejadi-jadinya di kamar Vio. Vio pun ikut menangis, tapi dia mencoba menenangkanku. Malam itu pun aku menginap di rumah Vio. Ketika berangkat ke sekolah mataku sembab sehingga aku harus mengompresnya selama perjalanan ke sekolah.

Juno menjadi lebih emosional. Sama seperti ketika pertama kali dia mengetahui aku adalah adiknya. Tapi kali ini dia tidak bisa menyembunyikan rasa sedihnya dariku. Fahri dan Rezi pun terus menemaninya selama di sekolah. Sedangkan aku mencoba setegar mungkin untuk tidak memikirkan Delvan di sekolah, karena setiap aku memikirkannya aku langsung menangis. Anak-anak di sekolah hanya tahu bahwa Delvan sedang liburan.

Semakin hari keadaan Delvan semakin memburuk. Dia harus meminum obat-obatnya untuk tetap bertahan. Setidaknya itulah kata dokter. Tapi aku yakin bahkan sangat yakin bahwa Delvan adalah orang yang kuat, dia pasti akan kembali seperti semula. Bukankah mukjizat itu nyata?

Tante Jihan terlihat lebih kuat, begitupun om Ferdinant. Sedangkan aku dan kak Bintang? I'm really not sure about that.

Ketika hari ulang tahun Delvan, sepulang sekolah aku, kak Bintang, dan Vio membelikannya cake. Lalu langsung menuju rumah sakit. Mama dan papaku juga sejak pagi sudah berada di rumah sakit. Orang tuaku dan orang tua Delvan sedang berada di ruangan Delvan. Sedangkan orang yang ditunggu sedang tidur. Kak Bintang membangunkannya dan aku membawa cake yang sudah berhiaskan lilin angka 17 untuknya.

"Van, bangun!" seru kak Bintang, "Delvan! Jangan bercanda!"

Aku meminta Vio membawa cake Delvan dan langsung mendekati Delvan. Kak Bintang sedikit memberiku ruang.

"Van, bangun yuk, jangan bercanda dong. Ini hari ulang tahun kamu loh." bisikku yang tersenyum, dan air mataku mulai menetes.

Sesaat kemudian ruangan telah dipenuhi dokter dan perawat sehingga kami semua harus keluar. Aku menangis dipelukan Vio. Sedangkan kak Bintang berdiri menjauh dari kami semua. Tak ada ucapan apapun yang keluar dari mulut kami. Yang terdengar hanya isak tangis. Orang tuaku membantu menenangkan orang tua Delvan. Menunggu para medis untuk keluar dari ruangan Delvan sangat lama, menurutku.

Van, kamu baik-baik aja, kan? Kamu tadi cuma tidur, kan? Van, kami disini khawatir. Aku, kak Bintang, dan Vio udah beliin kamu cake loh, ini kan ulang tahun kamu. Kamu juga pernah bilang, kamu nggak suka lihat papa dan mama kamu sedih, sekarang mereka lagi sedih Van mikirin kamu, makanya kamu bangun ya. Kamu bangun biar kita bisa ngerayain ulang tahun kamu sama-sama.

It's Not A DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang