Tujuh

3.9K 272 1
                                    

Aku segera mencari penyebabnya. Ternyata sang pentolan cewek sekolah. Renata. Dia dan teman-temannya menghampiriku.

“Lo apain Juno?” sergahnya.

“Ma, maaf, kak... saya nggak mengerti maksud kakak...” jawabku yang tidak berani menatap wajahnya.

“Lo kasih pelet apa dia sampai bisa deket sama lo gitu?” tanyanya dengan nada tinggi.

Oke, mungkin aku sekarang seperti cewek cupu yang kalau di labrak kakak kelas hanya bisa diam. No, it's not me. Tapi berhubung kak Bintang telah mengatakan kalau dia yang akan mengatasi Renata, aku tak mau ikut campur. Aku percaya dia bisa mengatasinya lebih baik. Aku kembali memakai topengku.

“Sa, saya nggak ngasih apapun kak... sa, saya juga nggak tau kenapa kak Juno gitu...”

“Sekali lagi lo berani deketin Juno! Gua pastiin lo nggak akan aman disini!” serunya dengan mengangkat daguku dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya untuk menunjukku.

Mereka pergi dan Vio kembali. Vio terlihat khawatir. Vio mengajakku kembali ke kelas tanpa memakan pesanannya. Beberapa teman-teman kelasku yang melihat kejadian langsung menenangkanku. Ketika bel, kami semua belajar. Pada istirahat pertama aku tetap di kelas, sedangkan Vio ke kantin untuk membeli snack dan minuman untuk aku dan dia. Tak lama kemudian, Vio masuk ke kelas dengan membawa cukup banyak snack dan minuman. Terlihat jelas diwajahnya kepanikan. Aku langsung membantu membawa snack itu dan mendudukkan Vio di tempatku.

“Tenang, Vi, tenang... kenapa lo? Kok panik gitu?” tanyaku.

“Kak Juno! Kak Juno!”

“Kenapa kak Juno?” tanyaku panik.

Vio mengajakku ke lapangan basket. Disana sudah banyak siswa, mulai dari kelas 10 hingga kelas 12. Aku dan Vio ikut melihat. Ternyata Juno sedang main basket one on three. Ketiga anak itu diantaranya 2 orang kelas 11 dan 1 orang kelas 12. Sangat terlihat di wajah Juno amarah. Permainan basketnya pun kasar. Sesekali dia mendorong salah satu pemain hingga jatuh. Tak ada yang berani menghentikan kecuali kedua temannya, Fahri dan Rezi. Fahri melindungi seorang temannya dan kedua adik kelasnya dari Juno. Sedangkan Rezi menghentikan permainan Juno.

“Keep calm, bro! Lo mau seharian dipenjara di ruang kepsek lagi?!” seru Rezi.

“Bubar semua!” perintah Rezi pada semua orang yang menonton mereka.

Seluruh siswa berhamburan, termasuk ketiga korban basket yang ditunjuk Juno itu. Rezi dan Fahri menenangkan Juno di tribun penonton. Aku dan Vio kembali ke kelas. Di kelas hanya ada satu pembahasan yang menarik, Juno. Ketika bel masuk, kami kembali belajar. Saat istirahat kedua aku dan teman-teman cewek sekelasku tidak keluar. Kami membahas tentang Juno. Tepatnya mereka. Bukan aku.

Saat bel pulang sekolah, aku, Vio, dan beberapa teman sekelasku menuju koridor utama. Koridor yang biasa digunakan baik oleh siswa, guru, atau orang umum yang ingin masuk ke sekolahku. Langkah kami terhenti ketika melihat banyak siswa yang sedang memperhatikan sesuatu. Aku dan teman-temanku bergabung.

Ternyata mereka sedang melihat kearah sang pentolan sekolah, Juno, yang sedang mengobrol dengan papa di dekat mobil super mewah papa. Dan di dekat mereka, ada mama. Aku yang melihat hanya diam dan tetap menjaga mulutku agar tidak terbuka melihatnya.

Pertanyaan-pertanyaan seperti ‘Ada apa?’,‘Dengan siapa Juno?’,‘Kenapa orang tuanya ke sekolah’ dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa mereka jawab sendiri. Juno menghampiri kami semua yang melihat. Dan tiba-tiba wajah pucat terlihat disekelilingku. Andri yang ada di sebelahku berbisik, “Jangan-jangan dia mau ngelamar elo, Lan...”

It's Not A DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang