Empat

4.4K 295 1
                                    

“Kalau papa?”

“Papa baik-baik aja. Dia sering keluar kota bahkan keluar negeri. Kami memang pergi ke Singapura dan tinggal disana, sampai akhirnya papa memutuskan untuk kembali ke Jakarta 3 tahun lalu dan kakak melanjutkan sekolah disini. Sampai sekarang papa juga belum menikah...”

“Aku nggak menyangka bisa ketemu sama kakak lagi, setelah 10 tahun. Kenapa mama dan papa sekejam itu, kak?” tanyaku yang masih menangis.

“Semua jawaban ada pada mereka. Yang jelas untuk saat ini kita jangan beritahu siapapun. Kamu jangan beritahu mama tentang pertemuan kita ini dan jangan mengungkit tentang kakak dan papa pada mama. Untuk di sekolah kita pura-pura nggak saling kenal sampai kakak bisa menemukan cara agar mama dan papa bisa menjelaskan semuanya pada kita! Di sekolah kamu tetap memanggil kakak, Juno, untuk sementara.”

“Aku masih belum percaya semua ini!” ucapku yang mencoba menahan tangis.

Juno menghapus air mataku dan mencoba menenangkanku. Tapi tetap saja dihapus beberapa kalipun aku tak bisa berhenti menangis.

“Sekarang kamu pulang aja ya, nanti biar kakak yang bilang ke Jimmy.”

“Kita tetep ke tempat outbound aja ya kak, aku belum siap ketemu mama.”

“Yaudah, tapi kamu jangan marah atau diemin mama ya. Bersikap biasa aja! Kalo ada sesuatu telepon kakak.”

Aku dan Juno bergegas ke tempat outbound itu. Karena jalanan sepi Juno mempercepat laju mobilnya. Akupun tetap menangis. Tidak sampai sejam kami tiba disana. Aku langsung menghampiri kelompokku dan memeluk Vio, teman dekatku sejak 3 hari yang lalu. Juno menyusul di belakangku. Rezi dan Fahri menghampiri kami. Tidak ada yang berani bertanya pada Juno kecuali kedua teman dekatnya itu.

“Wah, Jun, lo apain tuh anak orang sampai nangis gitu?” tanya Rezi yang memukul kecil pundak Juno. Kali ini semua mata tertuju pada kami.

“Nggak tau tuh, diajakin sarapan aja sampai nangis gitu!” jawab Juno berbohong.

“Woy ketos!” panggil Juno yang mengangkat tangannya mengarah ke ketua OSIS yang berdiri di tengah-tengah parah junior, “Gua cabut duluan! Tenang aja preman-preman disini udah gua usir semua!”

Aku yang tetap menangis diam-diam memperhatikan sekitar dan tidak ada sama sekali preman ataupun tempat-tempat yang menyatakan bekas berkumpulnya preman.

“Putri! Suruh dia istirahat!” perintah Juno yang langsung meninggalkan tempat outbound.

Putri dan Vio mengantarkan aku ke tempat dimana aku bisa beristirahat. Putri memberikan teh hangat.

“Kamu yakin tadi cuma diajak sarapan sama dia?” tanya Putri.

Aku hanya menggangguk pelan.

“Sebenernya Juno itu orangnya asik, dek, lo juga seharusnya bersyukur, lo junior pertama yang bisa semobil sama dia dan bisa makan berdua doang sama dia!” jelas Putri.

“Tapi katanya kami harus hati-hati sama kak Juno?” tanya Vio.

“Iya sih, yaudah jangan dipikirin, yang penting Bulan nggak kenapa-napa. Yang gua takutin sekarang si Renata, dia itu terobsesi jadi pacarnya Juno, apapun dia lakuin demi obsesinya itu! Eh sekarang lo istirahat aja dek, gua sama Vio mau lanjut outbound-nya!” jelas Putri.

Putri dan Vio beranjak dari kamar tempatku beristirahat ini. Sepanjang hari aku tak bisa lepas dari rahasia besar ini. Rahasia yang membuatku mengingat ketika mama selalu menangis dengan memeluk foto papa dan kak Bintang. Rahasia yang begitu cepat terungkap. Aku menahan tangis sebisaku. Saat outbound selesai kami semua kembali ke bus masing-masing dan kembali ke sekolah. Wajah-wajah penasaran dari teman-teman dan senior-seniorku hilang seketika. Di sekolah aku langsung pulang karena waktu memang sudah menjelang magrib. Bersikap seperti Bulan yang biasanya di depan mama.

Tidak seperti biasanya, malam ini aku mencoba tidur sebelum waktu tidurku hanya untuk menghindari pikiran tentang rahasia besar ini. Tapi tetap saja pikiran-pikiran itu masuk seberapapun kuatnya aku menolak. Setelah berjam-jam aku mencoba memejamkan mata dan menangis, aku barulah bisa tidur pukul 2 malam.

Paginya aku janjian dengan Vio di gerbang. Kami akan melihat mading bersama-sama karena hari ini adalah penentuan kelas yang sebenarnya. Gedung di SDB terbagi menjadi yaitu gedung kelas 10, kelas 11, kelas 12, dan ruang guru yang bersebelahan dengan aula. Masing-masing gedung kelas 10, 11, dan 12 terdapat toilet, lab. Kimia, lab. Biologi, ruang kesenian, hingga kantin. Serta 3 lapangan olahraga yaitu futsal, basket, dan badminton. Dan terakhir tempat parkir serta taman.

Berita baik untuk hari ini adalah aku sekelas dengan Vio di kelas X3. Kami langsung menuju kelas. Sebelum bel masuk seluruh siswa kelas X3 saling berkenalan. Aku semeja dengan Vio. Vio berbisik “Lo mah nggak perlu kenalan lagi, mereka udah kenal elo, Lan!”

“Kok gitu, Vi? Gua aja nggak kenal mereka...” balasku yang tak kalah pelan.

“Waktu lo lagi istirahat kemarin, semuanya pada ngomongin lo termasuk para senior!”

Aku dan Vio kembali berkenalan dengan mereka semua. Setelah bel kami mulai belajar. Ketika istirahat pertama Vio mengajakku untuk berkeliling gedung kelas 10 lalu ke kantin. Di kantin kami berkumpul dengan teman-teman cewek sekelasku yang sedang makan dan mengobrol. Tiba-tiba teman sekelasku yang bernama Ayu datang.

"Ada hot news, guys!"

***

Jangan lupa tinggalin jejak kalian ya! Thank you for reading, guys!

It's Not A DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang