Sebelas

3.5K 235 2
                                    

"Oke, sabar. Tarik napas dulu, Vi! Santai aja ngomongnya."

Vio menarik napas dan mengeluarkannya perlahan sebanyak tiga kali. "Lo harus lihat nanti. Tapi sayangnya gua nggak tau dia kelas berapa."

"Jadi, lebih pilih Fahri atau anak baru itu?"

"Gua kan cuma meng-in-fo-kan." balasnya dengan penekanan kata, "tetep Fahri deh."

"Eh tunggu, ini sketsa wajah kak Juno kan! Bagus banget! Kapan lo buatnya?" tanyanya antusias.

"Eh, iya juga ya, gua aja nggak tau buat apa tadi. Baru aja, tadi di kelas nggak ada orang jadi gua iseng buat deh." jawabku santai.

"Jangan bilang lo suka beneran sama kak Juno?" selidiknya.

"Eh, oh, nggak kok, biasa aja." jawabku ragu.

"Gua tau kak Juno orangnya memang gitu, tapi nggak ada salahnya kok kalo lo suka sama kak Juno. Gua perhatiin dia baik sama lo." ceramahnya.

Memang nggak ada salahnya suka sama Juno, tapi sayangnya dia kakak gua, Vi. Dan nggak akan ada brother complex. Batinku.

"Mulai nggak jelas obrolan kita, Vi. Udah mau masuk nih, siap-siap aja pelajaran Bahasa Indonesia, ulangan loh."

"Oh iya, istirahat nanti kita ke kantin ya, siapa tau ada gosip terbaru." pintanya semangat.

"Siap tuan putri!" gumamku yang dibalas lirikan kesal Vio.

Ketika bel istirahat, aku, Vio, dan beberapa teman cewek kelasku ke kantin. Seperti biasa kantin sudah dipenuhi anak-anak angkatanku dan senior-senior. Ada rahasia yang baru kuketahui dari teman-temanku bahwa para senior sering ke kantin kelas 10 karena makanan disini paling enak dan yang terpenting paling murah diantara kantin-kantin lainnya. Mungkin mereka hanya gengsi dan lebih baik di cap para junior sebagai 'kakak gaul'.

Aku pikir aku dapat menikmati makanan kantin dengan tenang hari ini, tapi ternyata salah. Renata dan teman-temannya atau lebih tepatnya sidekick-nya sudah menempatkan diri mereka tepat di meja tengah kantin. Terlihat sebagai penguasa. Aku dan teman-temanku memasuki kantin seperti biasa dan menganggap Renata tidak ada.

Aku harus berani! Janjiku pada diri sendiri. Salah satu teman Renata dengan sengaja menjulurkan kakinya untuk membuatku jatuh, tapi memangnya aku terlalu bodoh untuk terjebak hal kecil seperti ini? Lalu menjadi bahan hiburan seluruh kantin hari ini? Hell yeah.

Dengan santai aku berjalan seolah tidak ada apapun lalu menendang kakinya. Vio yang mengekor di belakangku mencoba menahan tawanya. Aku dan Vio langsung memesan minuman, sedangkan teman-temanku yang lain mencari meja kosong yang jauh dari Renata. Renata menghampiri aku dan Vio.

"Hai, adik manis!" ucapnya sinis.

Aku hanya menatapnya tajam.

"Kamu tau nggak kamu kelas berapa dan kami kelas berapa?" tanyanya dengan tangan yang melipat di dada.

"Sure. Saya kelas 10 dan kalian kelas 12. So?" tanyaku sarkastik dan berusaha setenang mungkin.

"Dan seorang junior berani menendang kaki seniornya? Don't you know what will we do after this, huh?" hujat Renata.

"Of course, I know. Nggak mungkin ada asap kalo nggak ada api, kakak." jawabku yang lagi-lagi mencoba tenang.

"Jangan karena lo deket sama Juno lo bisa kurang ajar sama senior, bitch!" Wajah Renata mulai memerah.

"Udah ngomongnya, kak?" tanyaku tersenyum.

Aku langsung pergi keluar kantin dengan diiringi tatapan seluruh anak di kantin. Dengan perasaan lega bercampur senang aku masuk ke kelas. Siapa yang nggak senang kalo lo bisa ngomong seperti itu ke senior yang paling ditakuti cewek-cewek satu sekolah, hmm?

"Lo gi-la!" seru Vio begitu kami tiba di kelas.

"Yes, I am." balasku santai.

"Lo sadar nggak sih? Lo udah bangunin macan tidur! Ya ampun, setelah ini mereka bisa berbuat apapun sama lo, Bulan! Gua cuma nggak mau lo kenapa-napa!"

"Gua nggak akan kenapa-napa, Vi. Trust me. Yang gua takutin itu lo, gua takut karena lo sahabat gua, mereka jadiin lo musuh mereka juga."

"Kalo lo aja nggak takut kenapa gua harus takut? Dan lo jangan takut gua nggak akan ninggalin lo kok!"

"Thank you, Vi! Lo memang baik banget! Eh istirahat kedua temenin gua ke kantin ya, tadi pagi nggak sarapan nih. Tadi juga gagal makan." pintaku yang dibalas anggukan Vio.

Aku merasa menunggu selama 2 jam pelajaran hari ini tak kunjung selesai. Tentunya dengan kelaparan yang melanda. Vio hanya tertawa melihatku yang memperhatikan jam beberapa menit sekali. Setelah suara bel yang kutunggu datang, aku langsung mengajak Vio ke kantin. Tapi sayangnya guru Sejarah kami belum mengizinkan kami keluar kelas sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaanya yang terkenal ajaib itu.

Karena pertanyaan-pertanyaan itu aku harus kembali menahan lapar selama 10 menit. Setelah itu kami ke kantin dan memesan makanan. Tapi lagi-lagi aku sial karena seluruh meja di kantin full. Aku dan Vio hanya keliling dan mencari orang yang bisa kami ajak bergabung.

"Hi! You can sit here!" seru seorang cowok Indo, Delvan.

Delan! Please jangan hancurkan rencana kita! Pintaku seolah kami bisa bicara dari hati ke hati. Tapi sayangnya perutku tidak bisa diajak berkompromi, akupun memutuskan untuk bergabung. Delvan bersama 2 orang cowok dan 3 orang cewek. Kalau dilihat dari style ketiga cewek itu sangat mirip dengan style Renata dan sidekick-nya. Whatever they're thinking about. Yang penting makan!

Aku duduk berhadapan dengan Delvan dan Vio berada di sebelahku.

"Delvan!" ucapnya ramah tapi terkesan tegas sambil menjulurkan tangannya.

"Bulan." balasku secuek mungkin dan menjabat tangannya.

Delvan melakukan hal yang serupa kepada Vio. Aku menghabiskan makananku dengan cepat. Dan ya, makanan itu lenyap hanya dengan waktu 5 menit.

"Oke, we have to go. Terima kasih tempatnya, kak." ucapku ramah kepada Delvan dan teman-temannya.

Kedua teman cowok Delvan membalas dengan senyuman ramah. Sedangkan ketiga teman ceweknya membalas dengan tatapan 'dasar-junior-menjijikan'.

"Kalian bisa ke kelas duluan. I wanna talk with her." Delvan langsung mengikuti langkahku. Ketika keluar dari kantin Delvan berkata, "Sorry, Vio. Can I talk with her for a minute, please?"

"Oke gua duluan ya, Lan." balas Vio yang sepertinya tak rela meninggalkanku berdua dengan Delvan.

"What do you want?" tanyaku to the point.

"Namanya Natasha, adik kandung Renata. Dan gua bisa rasain gimana jadi Juno. Pantas aja dia minta tolong lo."

"So, lo mau minta tolong gua juga? Hmm?"

It's Not A DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang