***
HAL pertama yang Ratu takuti dulu adalah rencana perceraian kedua orangtuanya yang sudah disepekati beberapa tahun terakhir. Namun hal tersebut telah bergeser ke posisi dua karena ada sesuatu yang lebih ditakuti Ratu.
Kehilangan seorang Keenan.
Ratu yakin, ia tidak akan mewujudkan hal tersebut. Untuk itu ia menoleh ke arah Flora tanpa menyembunyikan rasa takut dan menentang keinginan ibunya yang ingin dirinya ikut pergi ke Jerman.
Seperti yang dikatakan Ratu sebelumnya. Siapapun yang memberinya perintah. Ratu hanya perlu mengabaikannya bukan?
"Ratu gak peduli kalian pisah." ucap Ratu pada akhirnya. "Tapi jangan pernah nyuruh Ratu buat mutusin Keenan."
Kalimat yang berhasil dikeluarkan Ratu itu berakhir dengan semua mata yang ada di sini tertuju kepadanya. Bram bahkan seketika menghentikan makannya dan menatap Ratu dengan kedua alis terangkat. Sedangkan Flora tampak tidak menyukai keputusan Ratu tersebut.
"Oke-oke. Mami gak akan minta kamu lakuin hal itu." Flora mengangkat bahu acuh. "Tapi kamu tetep harus ikut Mami ke Jerman setelah acara kelulusan sekolah."
Tidak perlu memiliki kejeniusan untuk mengetahui bagaimana tatapan Ratu kepada Flora setelahnya.
"Ratu gak mau ke Jerman, Mi." Ratu benar-benar kehabisan kesabaran. Ia bahkan tidak bisa menahan lidahnya untuk tidak berdecak. "Kalimat mana yang gak Mami ngerti? Pokoknya Ratu mau di sini. Sama Papi."
Melihat senyuman yang tercetak jelas di wajah suaminya membuat Flora meradang dan mengharuskannya untuk segera menghabiskan segelas air putih di hadapannya dengan rakus. Lalu menyeka jejak air minum yang tersisa di bibir merahnya dengan selembar tissu dari atas meja. Sebelum akhirnya wanita itu menghadapkan diri ke arah Ratu, tampak ingin mengucapkan sesuatu.
"Begini, sayang." Flora memegang lengan Ratu. "Papi kamu pasti sibuk dengan segala pekerjaannya di luar sana. Dia juga gak bakalan sempat buat jagain kamu di sini. Mendingan kamu ikut Mami ke Jerman."
Bagaimana cara Ratu menggelengkan kepala saja membuat Flora tercekat. Ditambah lagi suaminya yang kali ini mengangkat suara.
"Sepertinya kita tidak memerlukan keputusan pengadilan untuk mengetahui siapa yang akan mendapatkan hak asuh anak." Bram berujar datar. "Menyerahlah, Flora. Ratu akan tetap menjadi tanggung jawabku. Di sini."
Siapapun yang mengatakan Ratu adalah cewek keras kepala. Maka hal itu bisa disamakan dengan keadaan ibunya sekarang.
"Jangan harap kamu, Mas!" Flora memasang ekspresi permusuhan. "Aku yang akan mendapatkan hak asuh bagaimanapun caranya."
Tidak perlu ditanya seperti apa keadaan di sekitar meja ruang makan yang saat ini Ratu tempati. Jika, suasana sebelumnya saja membuat Ratu ingin segera menghabiskan makannya lalu pergi ke kamar. Maka, kali ini Ratu benar-benar ingin meninggalkan meja makan dengan piring yang bahkan belum tersentuh olehnya.
"Kamu yakin?" tanya Bram setelah menghela napas berat. "Apa calon suamimu di Jerman akan menerima Ratu sebagai anaknya sendiri?"
Dan untuk pertama kalinya. Ratu benar-benar merasa bersalah pada Mbok Darti karena telah memasak makanan kesukaannya, namun tidak ada satupun yang tersentuh oleh Ratu. Terbukti dari awal ia duduk di meja makan. Ratu hanya menjadi saksi perdebatan orangtuanya yang ternyata menjadi santapan harian Ratu di tahun-tahun sebelumnya, jika cewek itu pintar untuk mengingat.
Masih pada keheningan yang tiba-tiba saja tercipta. Flora langsung mengangkat suara, berbicara.
"Calon suami?" tanya Flora dengan nada tersinggung. Segera wanita itu merogoh sesuatu dari dalam tasnya sebelum akhirnya ia melempar tiga lembar foto ke atas meja yang tentu saja membuat Bram tidak bisa berkutik.
KAMU SEDANG MEMBACA
RATU (TAMAT)
Teen FictionRatu Kenarya terkenal karena berhasil membuat sebagian anak cowok meneguk ludah. Bukan oleh wajahnya yang cantik dan bibirnya yang merah alami. Melainkan sikap pongahnya begitu tengah menolak anak-anak cowok yang menembaknya terdengar cukup menyakit...