***
BAGI Keenan, ia tidak tau pasti. Sejak kapan hatinya mudah digemuruhi oleh rasa gelisah?
Mungkin terkadang atau belum pernah sama sekali ia merasa segelisah sekarang. Itu sama saja seperti tengah menyiksanya secara perlahan-lahan sebelum akhirnya mati dibarengi rasa penasaran yang belum terjawab.
Begini contohnya.
Tanda-tanda untuk pintu yang bertuliskan ruang pemeriksaan itu terbuka dari engselnya, nyatanya jauh dari kata belum. Bahkan sudah hampir satu jam setengah menunggu, yang Keenan temukan dari pintu coklat itu adalah masih tertutup rapat.
Ia sendiri terkadang berusaha mengendalikan diri untuk duduk di depan ruangan dengan tenang, mengontrol degup jantungnya yang menggila, melebihi kecepatan ritme yang seharusnya.
Memangnya, kenapa juga ia berada di sini?
Kenapa pula ia mau menurut perkataan dokter yang menyuruhnya untuk tetap berada di luar ruangan? Menunggu hingga rasa bosan mencekiknya?
Ya, kalau saja hal ini bukan tentang mencegah keributan di rumah sakit. Keenan tidak akan segan-segan menendang pintu tertutup berwarna putih susu tersebut hingga terbuka. Dengan ruangan yang menjadi pusat kegelisahannya sekarang.
Sekali lagi, Keenan menghela napas.
Masih diselimuti oleh hening, cowok itu lalu membawa tubuhnya berdiri. Mencoba menyibukkan diri dengan berjalan mondar-mandir di depan ruangan, dibarengi suara jarum jam berdetik yang turut kali menyedot kesabarannya.
Sampai sebuah tepukan di bahu membuatnya menoleh ke belakang. Keenan berpikir jika rasa gelisahnya justru bertambah dua kali lipat dari sebelumnya.
Karena bukan dokter yang ia temukan, karena bukan pintu ruangan yang terbuka, melainkan seorang wanita yang sekarang berdiri di hadapannya ternyata penyebab utama itu semua terjadi.
Dan anehnya dengan tenang wanita itu bertanya. "Suka kopi?"
Meski enggan untuk menjawab. Tetapi Keenan merasa kepalanya jutsru bergerak mengangguk.
Membuat wanita itu memberikan satu cup minuman yang sedari tadi digenggamnya, lalu mengajaknya untuk duduk di bangku yang sebelumnya ditempati oleh Keenan.
"Minumlah," ujarnya menyela Keenan yang ingin berterimakasih. Sebelum melanjutkan kata-katanya. "Ada hal yang ingin saya tanyakan sama kamu, Keenan."
Itu menghentikan gerakan Keenan yang sedang menyapu kedua ibu jarinya di bibir cup. Apalagi ia ingat betul, bagaimana akhir dari pembicaraannya dengan wanita itu?
Dan Keenan tidak ingin mengulangi lagi sebenarnya. Namun, itu kalah cepat dengan kalimat yang saat ini mengalun di udara.
"Sampai sekarang kamu masih dekati putri saya?" Flora tidak tau ingin bertanya dari mana. Terlalu banyak hal yang sekarang ingin ia utarakan pada cowok muda di sebelahnya. "Apa sebegitu sukanya kamu sama Ratu?"
Keenan masih merapatkan bibir. Ia tidak ingin salah bicara kali ini.
"Atau mungkin kamu hanya merasa iba dengan kondisi putri saya yang sekarat seperti sekarang?"
Barulah di detik Keenan membuka mulut, suara Flora mendahuluinya.
"Apapun alasanmu itu terserah." Flora lalu meremas kedua tangannya. "Yang saya pedulikan sekarang adalah. Kenapa kamu masih dekati Ratu di saat saya sudah memberitahu kamu yang sebenarnya?"
Keenan melempar guratan dahi tidak mengerti, mengharuskan Flora kembali menjelaskan.
"Ini tentang kecelakaan yang melibatkan Ratu juga ayahmu." lalu Keenan merasa degup jantungnya semakin menggila. "Jika kamu mengira saya adalah orang yang memanipulasi foto yang pernah kamu terima beberapa tempo lalu. Tentu, saya akan mengelak."
KAMU SEDANG MEMBACA
RATU (TAMAT)
Teen FictionRatu Kenarya terkenal karena berhasil membuat sebagian anak cowok meneguk ludah. Bukan oleh wajahnya yang cantik dan bibirnya yang merah alami. Melainkan sikap pongahnya begitu tengah menolak anak-anak cowok yang menembaknya terdengar cukup menyakit...