"Kenapa hyung belum tidur?"
Suara di seberang sana lantas membuat Yohan menghela napas, mulai merubah posisinya dari terlentang menjadi duduk di pinggir kasur. Gawai yang tengah terkoneksi dengan ponsel milik kekasihnya itu mulai ia apit diantara telinga dan bahunya, sebab tangan tengah sibuk rapihkan letak seprai yang berantakan.
"Aku belum mengantuk."
Junho berdecak, "Ish! Yang benar saja?"
Sebuah senyuman terbit di bibir si Kim, merasa jika perangai Junho yang terlihat mencemaskan kondisinya itu benar-benar sangat lucu untuk dinikmati. Hiburan yang cukup memberikan kesan menarik untuk sekadar menemani jam malamnya.
"Aku serius, Junho. Aku benar-benar belum mengantuk."
Junho mendengus. Ia tak pernah suka akan perangai sang kekasih yang kerap habiskan malam dengan tetap terjaga jika keesokan harinya tak memiliki jadwal. Ia yakin, jadwal kuliah yang padat pasti membuat Yohan kurang tidur dan butuh istirahat yang cukup.
"Tapi, hyung, ini sudah malam sekali. Sana pergi tidur!"
Mendengar suara Junho yang terdengar semakin memaksa, namun tetap menggemaskan di rungunya membuat Yohan tertawa. Ponsel miliknya itu mulai ia taruh ke nakas terdekat tanpa lupa menyalakan pengeras suara agar suara Junho tetap terdengar.
"Iya, Junho, iya. Tunggu sebentar."
Yohan berjalan ke ujung ruangan untuk mengambil kotak yang berisikan sebuah bingkai foto yang baru saja ia ambil tadi sore dari tempat percetakan foto. Bingkai itu berisikan sebuah foto mereka kala merayakan musim semi tahun lalu bersama. Terlihat manis, Yohan menyukainya.
Jemari Yohan sibuk usap ujung bingkai, sedangkan bibirnya sibuk bentuk senyum penuh rasa bahagia. Bahagia yang sederhana.
"Hyung, kau masih di sana?"
Suara Junho langsung memecah fokusnya, membuat Yohan bergegas duduk kembali di pinggir ranjang dan mendekatkan diri ke arah nakas. Berharap jika suaranya dapat terdengar jelas di sana. "Ya, sayang? Aku habis mengambil sesuatu terlebih dahulu. Maaf."
Gawai kembali digenggam oleh si Kim, pun mulai sandarkan tubuh pada kepala ranjang. Bingkai itu kini berada di pangkuan Yohan, tak ada sedikitpun niat dari si pemilik untuk singkirkan. Atensi milik sang teruna bahkan masih sibuk tatap potret dirinya dan Junho kala itu.
"Junho?"
"Ya, hyung?"
Sudut kurva terbentuk di bibir Yohan. Ingin hati 'tuk goda yang lebih muda dengan sebuah gombalan malah tertahan dengan jalan benak yang seakan tak sinkron. Tak ada kalimat yang terlintas, tak ada pujian istimewa yang bisa ia utarakan.
Bibir digigit pelan, Yohan masih bingung untuk buka konversasi sebagai bentuk basa-basi. Entah itu perihal hari atau asupan makanan yang telah Junho terima. Ia memutuskan untuk menyimpan bingkai itu ke samping, berharap jika berhenti menatap foto Junho sebentar dapat hilangkan rasa gugup dalam diri.
"Cha Junho." panggil Yohan sekali lagi.
Junho di ujung sana bentuk kerutan pada dahi, merasa aneh kala sang kekasih sebut asma lengkap dengan intonasi yang terlampau sesakkan dada sebab suara bariton Yohan. Tangan tepuk dada, bermaksud netralkan tempo detak jantung yang terlampau tak biasa.
Ia tak merespon. Bibirnya seakan susah digerakkan, ditambah pula lidah yang mulai terasa kelu. Junho benar-benar tampak seperti batu.
"Cha Junhoku sayang. Cha Junhoku yang indah. Cha Junhoku yang menggemaskan. Cha Jun-"
"Hah?" Mulut Junho terbuka, rasa kaget mulai kendalikan diri. Kuasa mulai bergerak tutup mulut sendiri sebentar, sebab malu pula merasa geli akan perangai yang lebih tua. "Berhenti, hyung. Astaga Tuhan, kau sakit?"
Yohan meringis. Apakah ucapannya barusan terdengar terlalu berlebihan dan menggelikan? Ah, biarlah. Selama Junho saja yang mendengar sisi aneh dirinya, itu bukan masalah yang perlu dibesar-besarkan.
"Aku tidak sakit, Junho." Yohan merengek, bermaksud agar memberitahu sang kekasih jika ia barusan dalam kondisi sadar dan sehat dalam mengatakannya. "Aku hanya merasa aneh karena belum memujimu hari ini."
Junho tertawa, "Itu bukan masalah yang besar, hyung. Mengapa kau tampak mencemaskan hal itu?"
"Entahlah. Mungkin karena aku terbiasa."
Sebuah senyum terbit kembali pada durja si Cha, mata dipejamkan sebentar pula kendalikan nafas yang mulai terasa tak beraturan sebab gugup mulai melanda. Semburat merah yang hias wajah tak ia indahkan, walau ia tahu kini presensinya tampak seperti remaja penuh hasrat akan afeksi.
"Yohan hyung." Junho menarik napas perlahan, berusah menenangkan diri sejenak dari rasa gugup yang mulai mengalir. "Kau seharusnya tahu jika kabarmu itu telah cukup untukku, sehingga kau tidak perlu memberikanku suatu gombalan atau hadiah setiap harinya. Kau itu suatu kesederhanaan yang selalu aku kagumi presensinya."
Mendengar Junho memberikan kalimat manis padanya, Yohan langsung reflek bentuk cengiran lebar pada bibir. Ia merasa detak jantungnya berdetak luar biasa tak normal, namun meninggalkan sensasi mengagumkan baginya.
"Kau selalu bersedia di sampingku walau kau memiliki jadwal yang padat. Kau selalu bersedia melakukan segala hal hanya sekadar untuk membuatku tersenyum. Kau selalu bersedia menjadi petunjuk kala aku merasa hilang arah. Walaupun aku kekanakan, egois, dan kerap melampiaskan emosiku padamu, kau tak pernah lelah akan hal itu, hyung."
"Junho.."
"Eksistensimu di bumi itu seperti tanah, hyung. Walaupun kau diinjak, kau adalah tempat dimana tanaman tumbuh dan memberikan manfaat untuk semua orang. Sedangkan di dalam diri ini, kau adalah secercah cahaya di tengah kegelapan relung hati yang kosong. Kau memenuhinya, kau berdiam diri di sana."
"Oh Tuhan, Cha Junho. Kau memang benar-benar, ya." ujar Yohan sambil memijat dahinya pelan. Matanya ia pejamkan pelan. Jika ini adalah mimpi, Yohan lebih baik tak sadar selamanya.
"Kenapa, hyung?"
"Perbuatan baik apa yang aku lakukan di masa lampau, ya? Sampai Tuhan menitipkanmu untukku jaga. Untuk aku jadikan prioritas, untuk aku jadikan tempat di mana aku merasa sejauh apapun aku pergi aku harus tetap kembali padamu."
Junho di seberang sana mencebikkan bibirnya lucu. "Apaan, sih, hyung?"
"Kau harus tahu jika kau itu sangat berharga untukku, Junho." Yohan bentuk senyuman di bibir. Bahkan benaknya juga membayangkan bagaimanakah raut wajah sang kekasih sekarang, apakah akan sebahagia dirinya atau tidak?
"Bahkan aku tidak pernah merasa seberuntung ini karena aku berhasil memilikimu. Karena bersamamu, aku merasa lengkap. Bersamamu juga aku tersadar, bahwa aku tak perlu menjadi sempurna karena kepingan jiwa terakhirku ada dalam dirimu, Cha Junho."
W/N:
Maaf kalau tidak sesuai ekspektasi dan mengecewakan, ya. Aku akhir-akhir ini lagi sibuk jadi maaf juga telat update gini huhuhu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Praiseworthy | yojun
Fiksi PenggemarEksistensi Cha Junho di mayapada itu seperti objek yang seorang Kim Yohan tak pernah bosan untuk kagumi pula puja. Entah itu tentang perangai atau durja, pula keahlian 'tuk lelehkan hati yang sebelumnya sekeras baja. Junho itu mengagumkan, dan Yoha...