Kecewa

669 52 4
                                    

"Assalamualaikum tante" ucap Abhi. 

"Waalaikumsalam, mau cari siapa ya?" tanya Ibunya Nara sesaat melihat sosok yang ada didepannya terlihat begitu familiar. Abhi tersenyum karena dalam hati ingin sekali ia memuji kecantikan Ibu Nara. 

"Saya Abhi tante, temen kampus nya Nara. Nara nya ada tante?" 

"Oh Nara ada didalam. eh ayo masuk dulu, sampe lupa kan nyuruh masuk. Ohiya satu lagi, gausah panggil Tante, panggil Ibu aja. Lebih enak didengernya haha" Canda Ibu Nara mempersilahkan Abhi masuk ke ruang tamu yang terlihat simple dengan segala perabotan berwarna putih. terlihat beberapa foto keluarga dan foto Nara kecil.

"Tunggu sebentar ya, Abhi. Ibu panggilin dulu Naranya. Biar cepet clear masalah kalian." ledeknya seraya mengedipkan mata tersenyum. Abhi terkesiap lalu ikut tertawa melihat tingkah Ibu Nara yang begitu hangat. Sesaat Ibu Nara menjauh, Abhi justru mengurungkan niatnya untuk duduk. Dia berjalan kearah dinding yang dimana di isi dengan beberapa foto kecil Nara yang terlihat menggemaskan. Terlihat jelas garis wajah Nara menurun dari papanya, sedangkan senyumnya lebih mirip ke ibunya. Perpaduan yang sangat apik antara darah Belanda, Sunda dan Jawa. disudut lainnya tertempel beberapa kanvas ukuran kecil dengan lukisan abstrak yang begitu menarik perhatian. 

"Itu lukisannya Nara waktu masih sekolah dulu, Jiwa seninya memang nurun dari Ibu." Jelas Ibu Nara yang tiba-tiba sudah ada di samping Abhi. 

"Bagus bu.." 

"Siapa dulu ibunya ?! Hahahaha Bhi, ibu tinggal dulu yah nerusin masaknya buat makan malam. Kamu sekalian makan aja disini, papa nya Nara lagi keluar kota seminggu. Jadinya cuma Ibu sama Nara aja yang makan. Oke? itu sebentar lagi Nara nya keluar kamar. Kalo lg marah hati-hati, bisa berubah jadi ibunya macan dia."

"Hahahaahaa nanti Abhi yang jinakin bu, tenang aja."

Abhi memutuskan untuk duduk sambil menunggu Nara datang. Sejujurnya, sejak Dia menginjakkan kaki di rumah ini, perasaannya sudah tidak menentu. Banyak kekhawatiran yang hinggap dipikirannya, terutama bagaimana jika Nara tidak mau menemuinya atau Nara memutuskan hubungan dengannya. Walau belum ada status pacaran, namun Abhi tidak dapat memungkiri Nara mampu membuka hatinya. Nara membiarkan dirinya masuk dan tinggal, merasakan tiap kenyamanan yang ada. 10 Menit berlalu, perlahan Nara berjalan ke Arah Abhi.

"Ehem.." Nara berdeham membuyarkan lamunan Abhi. "Ngapain ksini?" 

"Aku mau jelasin semuanya, Ra. Mau ya?" Abhi menunjukan kecemasannya saat melihat wajah Nara yang seperti habis menangis seharian. Rasa bersalah mulai melucuti keberaniannya. Nyalinya mulai ciut saat melihat air mata siap turun dari pelupuk mata Nara. Abhi menunduk menghindari pandangan perempuan yang sangat dicintainya itu. 

"Yaudah cepetan ngomong, aku gabisa lama-lama, ngantuk." Ujarnya ketus seraya duduk di sofa sebelah kiri Abhi. Sekuat tenaga Dia berusaha menahan airmata yang dengan lancangnya ingin sekali keluar menanmpakan kelemahan dirinya. 

"Ra, aku minta maaf apa yang udah kejadian tadi siang. Aku ga nyangka bakal secepet ini kamu harus tau Dia." 

Nara menoleh kearah Abhi dengan tatapan yang sulit dijelaskan, sama seperti hatinya. Deru jantungnya semakin cepat. Ada ketidaksiapan dalam dirinya untuk mendengar penjelasan Abhi selanjutnya, but life must go on, right?

"Namanya Danish, Ra. Sahabat kecilku di Lombok dulu. Dia baru aja balik dari Melbourne, pertukaran pelajar selama setahun. Baru balik 2 minggu lalu. Maaf kalo aku ga pernah sedikitpun cerita tentang dia ke kamu, karena aku ga punya alasan apapun untuk cerita hal itu."

"Kenapa? karena aku bukan siapa-siapa kamu?"

"Bukan Ra, bukan gitu. Kamu yang paling tau aku gimana, hati aku kamu yang paling tau." ucap Abhi berusaha meyakinkan Nara yang masih menatapnya tajam.

"No. You got me wrong. Im not. At least sejak tadi siang." Sanggah Nara dengan senyum kecutnya. Abhi menangkap jelas kekecewaan yang dirasakan Nara hari ini.

"Sekarang udah jelas kan? You dont have to tell anything about her like what you said. Then, go ahead. Good luck, Bhi. Im done." Nara langsung beranjak dari duduknya dan pergi menuju kamarnya, meninggalkan Abhi yang masih terdiam dengan segala ucapan Nara di pikirannya yang berusaha Ia cerna satu per satu.



"Ra, belum juga aku jelasin duduk permasalahan yang sebenernya, kamu udah ngasih tembok tinggi untuk aku lewatin. Gimana kalo kamu tau masalah yang sebenernya? Apa mungkin kamu tetep mau stay nguatin aku kedepannya?
Apa mungkin kamu mau jalan beriringan nunjukin ke semesta kalo perasaan yang kita punya ini ga patut untuk disalahin?"







Abhi NaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang