08. Hilang dan Rapuh

727 93 20
                                    

Malam di hari Sabtu tanggal 20 di bulan Desember pukul delapan malam, Ruka benar-benar datang.

Dengan gaun one-piece pendeknya dia berdesakan diantara banyaknya manusia yang menari di lantai dansa itu. Bau alkohol dan rokok menjadi satu.

Sesekali hidung Ruka mencium aroma khas orang bercinta dipojok sana. Hatinya menjerit. Antara kesal dan ingin menangis. Dimana Machi-nya? Kenapa tidak nampak batang hidungnya?

Sesaat kemudian, Ruka berhasil menemukan lelakinya yang berbalutkan kemeja hitam. Tapi matanya membulat saat lelakinya merangkul mesra pinggang seorang wanita dengan dress pendek berwarna merah maroon.

Matanya berair.

Dia berjalan berbalik hingga keluar dari klub. Saat sedang berjalan sambil mengusap kasar airmatanya, lengan Ruka tertahan oleh seseorang.

Saat dia menoleh, rupanya Machii sudah menggenggam kuat-kuat lengan kecil Ruka. "Lepas!"

"Ruka d-dia itu yang-"

"Tidak perlu dijelaskan." ujar Ruka. Kemudian dia menarik kasar kalung pemberian Machii dan melemparnya tepat didepan dada pemuda itu. "Anggap semua yang kita lalui hanya mimpi." lanjutnya.

Matanya menangkap taksi yang melewati. Buru-buru dia memberhentikan mobilnya dan menaikinya dengan segera sebelum Machii mengejarnya. "Ke apartemen X ya pak."

"Baik nyonya."

Mobil itu melaju membelah jalanan kota Tokyo. Sejalur dengan hati Ruka yang terbelah dua. "Benci!" gumamnya disela tangisnya.

≒≒≒≒≒≒≒≒
★ Matsuda Ruka★
≒≒≒≒≒≒≒≒≒≒

Ukyo memandang Hiroki dengan serius. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam jas putih dengan angkuhnya. Hiroki menelan ludahnya. Hari ini, diruang obat, Ukyo ingin mengambil nilai Hiroki untuk memenuhi daftar targetnya.

"Senpai-"

"Jangan banyak bicara. Lanjutkan saja pekerjaanmu." Ukyo memotong perkataan Hiroki. Hiroki mengeluh, "Mou. Kalau senpai memperhatikanku seperti itu aku gugup. Bagaimana kalau oplosan obatnya kelebihan ku tetesi?" eluhnya. Ukyo masih dengan wajah datarnya.

"Aaargh! Percuma saja. Baiklah aku akan melakukannya." ucap Hiroki menyerah sambil berteriak pelan. Ukyo masih memperhatikannya. "Oke. Ujianmu selesai." ujar Ukyo saat Hiroki menetes setetes Ceftriaxone dan mencatatkan hasilnya di note kecil miliknya.

"Astagaaaaaaaaa." Hiroki bergumam pelan dengan tangan yang menggenggam kuat botol obat. "Kenapa? Kau protes karena aku mengawasimu untuk nilai praktekmu?" tanyanya Ukyo galak. Hiroki mendesah pelan. "Aku pergi dulu senpai. Yosh! Kita ke ruangan Catherine Neechan~"

Ukyo menepuk pundak Hiroki kemudian pergi berlalu begitu saja.

Hiroki mendorong troli obatnya dengan girang. Ada banyak sekali hal yang ingin dia ceritakan pada Catherine. Dia juga masih ingin mendengar cerita soal Catherine. Entah mengenai harinya atau kenangan masa lalunya saat dia menjadi Pramugari.

Begitu sampai dikamarnya, Hiroki merasa aneh. Tumben sekali ada banyak yang menjenguk Catherine. Bukankah penjenguk harus minimal dua orang? Batinnya bertanya-tanya. Tiba-tiba, seorang berwajah asia kebarat-baratan keluar kamar dengan mata memerah sembab.

"Oh pak dokter." Dia membungkuk hormat kemudian melirik nametag Hiroki. "Ini, ada apa ya?" Hiroki bertanya hati-hati. Sosok laki-laki itu menarik pergelangan tangan Hiroki. "Ayo masuk dulu. Hitung-hitung sebagai ucapan terimakasih karena mau menjaga Catherine kami."

Hiroki meninggalkan trolinya dan masuk ke kamar inap Catherine. Disana, Catherine sudah tidak bernafas. Tapi nampak seperti orang tidur biasa dengan wajah cantiknya. "Catherine nee-san?" Tanyanya tidak percaya.

"Dia adalah dokter yang menjaga Catherine. Izinkan dia ikut melihat Catherine untuk terakhir kalinya." Ujar si lelaki. Beberapa orang diruangan itu membungkuk hormat pada Hiroki. Tapi dia tidak peduli. Ini pertama kalinya, dia melihat seorang pasien mati.

Kakinya bergetar dan lututnya lemas. Katakanlah dia lemah, tapi Hiroki tidak bisa menahan rasa sedihnya. Dia terpaku ditempatnya. Tapi dia tetap mengatupkan kedua tangannya didada dan berdoa dalam hati. Terserah meskipun berbeda agama, Hiroki hanya ingin doanya tersampaikan oleh Dewa-nya.

'Catherine-san. Selamat sudah bahagia. Disana kau tidak akan menderita lagi. Kau bahagia tanpa mengalami rasa sakit yang selama ini kau rasakan. Terima kasih sudah percaya padaku untuk menjagamu walau sesaat.'

Hiroki mengusap wajahnya, "Terima kasih sudah memperbolehkan saya ikut berdoa. Saya izin undur diri." Hiroki langsung berbalik. Tapi laki-laki tadi menahan lengan Hiroki. "Ini, titipan dari Catherine. Mohon diterima."

"Tapi-"

"Saya sebagai saudara, memohon. Tolong terima kebaikan Catherine." Laki-laki itu menyodorkan sebuah amplop dan Hiroki menerimanya sambil membungkuk. "Terima kasih sudah mau merawat Catherine. Saya bersyukur karena kamu mau merawatnya tanpa rasa jijik atau takut." Jelasnya.

Hiroki tersenyum sambil mengangguk pelan. Kemudian dia keluar ruangan. Dia segera mendorong pergi trolinya menuju meja administrasi. Tidak ada Ruka disana. "Saya izin hari ini. Saya tidak enak badan." Ujar Hiroki.

Pegawai yang sesama magang disana mengangguk.

Hiroki buru-buru ke loker dan melepas semua atributnya. Ah, iya amplopnya. Dia membuka amplopnya perlahan. Takut rusak pemberian pasien pertamanya itu. Isinya uang tunai dan ada selipan note.

Semangat ya, dokter kecilku! Nee-san tunggu kamu sukses!

Pertahanan Hiroki hancur. Pertama kalinya dalam hidup dia menangis. Kenapa harus akhirnya begini? Kenapa Tuhan harus sangat sayang dengan nee-san miliknya sehingga dia mengambil perempuan itu?

"KENAPA?!"

Di tengah keheningan suasana loker, Hiroki berteriak. Mengeluarkan semua emosinya. Kesedihannya. Dan juga ketidak relaannya.

Magang [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang