Bagian 21

739 104 6
                                    

Rasa Sakit

***

Yuna berhenti di lorong perpus, lalu menoleh kanan, kiri, dan belakang. Merasa tidak dikejar ia mulai tenang dan mengatur napas yang tidak beraturan akibat berlari.

Setelah napasnya normal, Yuna masuk ke dalam perpustakaan. Bukan untuk membaca buku, melainkan hanya untuk duduk dan menjauh dari orang-orang saja.

Di pojok perpustakaan yang jarang terjamah siswa di situlah sekarang Yuna berada. Ia duduk sambil menumpu kepala dengan kedua tangan.

***

Bel pulang telah berbunyi, semua murid berhamburan keluar kelas dengan wajah berseri-seri. Akhirnya, waktu yang ditunggu-tunggu telah tiba. Mereka bisa melepas kepenatan selama di sekolah dengan pulang ke rumah masing-masing.

Yuna baru saja keluar gerbang. Tiba-tiba, Zeyu menjajari langkahnya. Menarik lengannya. Berkata, "Pulang bareng, yuk!"

Yuna segera menepis tangan Zeyu. Ia melangkah mundur lalu menengok ke sekelilingnya. Tepat! Matanya menangkap satu sosok yang dia kenal.

"Kak Minghao!" teriaknya sambil berlari ke arah Minghao, menjauhi Zeyu yang baru mengajaknya pulang bersama. Sedangkan Minghao memberhentikan motornya lalu menoleh.

Beruntung, Junyi pernah mengenalkan Minghao padanya waktu lalu.

"Antar gue pulang," pintanya saat sudah sampai di depan Minghao. Yuna pun naik ke motor tanpa menunggu persetujuan Minghao terlebih dahulu.

"Oke."

Minghao menjalankan motornya dan mengantar Yuna pulang.

"Makasih," ucap Yuna lalu masuk ke dalam rumahnya.

"Sama-sama," balas Minghao sambil memandang pintu rumah yang sudah tertutup. Kemudian pulang ke rumahnya.

Yuna memasuki kamarnya dengan langkah cepat. Sesampainya di kamar, ia mengganti baju dan segera keluar rumah. Ia harus menemui seseorang.

***

Zeyu menghela napas berat. Berjalan gontai memasuki kamar. Wajah manisnya sedikit pucat. Zeyu sedang tidak bersemangat. Tentu. Seharian ini ia tidak berbincang dengan penyemangatnya.

Lesu. Zeyu melempar tas sekolahnya ke sembarang arah. Bergegas ganti baju dan merebahkan tubuhnya. Ia menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong. Imajinasinya keluar. Melayang-layang di udara. Membawa bayang-bayang dari sosok yang dirindukannya.

Jauh berkutat dengan imajinasinya. Zeyu sampai tak menyadari, Mizhu, adik perempuannya telah masuk ke dalam kamarnya.

"Kak, makan. Dipanggil dari tadi juga." Mizhu menepuk kaki sang kakak.

Zeyu tersadar. Ia terkejut. Imajinasinya buyar, tercerai berai bersama bayangan yang dibawanya.

"Eh? Kenapa?"

"Makan! Di tunggu Papa tuh!" balas Mizhu setengah berteriak.

"Iya ... nanti deh. Sana pergi!"

Mizhu yang tak mau berdebat pun melangkahkan kaki keluar dari kamar kakaknya.

Zeyu menghela napas berat. Kembali memandang langit-langit kamarnya. Berharap imajinasinya kembali. Namun, sepertinya harapan itu harus pupus tatkala sadar yang datang di kepalanya bukanlah imajinasi melainkan rasa sakit.

Argh! Selalu seperti ini. Zeyu memukul kepalanya dengan kedua tangan. Berharap agar rasa sakit cepat hilang. Tapi gagal, yang ada rasa sakit itu malah menjadi.

"Mama ..." rintihnya kesakitan.

Zeyu membenamkan wajahnya. Menikmati setiap detail rasa sakit yang ternyata mulai hilang.

Merasa sakitnya benar-benar hilang, cowok itu bangkit. Sekarang posisinya menjadi duduk. Ia menghela napas berat. Tak berapa lama, rasa pusing mulai menggerayangi kepalanya. Lagi, dia kembali merintih, "Mama ..."

Tiba-tiba, Zeyu teringat akan janjinya dengan seseorang. Bergegas. Meski dengan menahan pusingnya, Zeyu berlari setengah sempoyongan keluar kamar lalu menuruni satu persatu anak tangga menuju ke bawah.

Hal tersebut mengundang rasa penasaran dibenak sang adik yang kebetulan ber pas-pasan dengannya di tangga. Menoleh, Mizhu menatap punggung kakaknya.

"Kak Zeyu! Mau kemana? Kenapa buru-buru banget?" tanya Mizhu mengejar kakaknya.

Zeyu berhenti. Menggigit bibir bawahnya sebentar. Berharap rasa pusing yang masih singgah segera pergi dari kepalanya. Menoleh. Zeyu berkata, "Ketemu temen."

Bohong. Yeah, Zeyu berbohong. Jelas. Ia tak mungkin memberi tahu yang sebenarnya kepada Mizhu maupun anggota keluarga yang lain.

"Tapi kan-"

"Kakak buru-buru."

Zeyu kembali menjalankan larinya yang masih tak stabil, tanpa peduli ucapan adiknya lagi.


To be continued ...

A Pair of DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang