Bagian 25

631 82 2
                                    

Pelukan hangat

***

Hari-hari telah berlalu. Dua minggu sudah genap berjalan. Semuanya tetap sama. Tak ada perubahan yang berarti bagi gadis bermarga Zhang itu.

Seperti sekarang, Yuna tengah bersiap-siap untuk pergi sekolah dan mengikuti pelajaran-pelajaran yang menurutnya sangat memuakkan. Andai si kakak cerewet itu tidak mengancam dirinya saat bolos. Pasti sekarang Yuna masih berkumpul dengan bantal dan kasur.

"Yuna makannya lama banget, sih." Junyi berdiri dari duduk tak nyamannya dengan wajah gusar. Sepuluh menit yang lalu ia baru saja menyelesaikan sarapan lezatnya.

Yuna tak menghiraukan kakaknya, ia masih menikmati semangkuk mie buatan Jeyna. Ah, anak itu memang memiliki bakat memasak. Omong-omong, ART di rumah Yuna sedang pergi ke kota asal untuk menghadiri pernikahan adik bungsunya. Dan Jeyna dengan suka rela menggantikan posisi itu untuk sementara. Meski sudah mendapat penolakan mentah-mentah dari Junyi, tetap saja gadis dengan marga Hwang itu ngeyel. Sekarang saja, dapat dipastikan jeyna sedang mencuci pakaian milik penghuni rumah.

"Yuna!"

Yuna memasukkan mie kedalam mulutnya, kemudian mengunyahnya secara perlahan dengan tempo yang sangat lama untuk sekedar mengunyah. Eh, apakah Yuna sedang menggoda iman kakaknya?

"Udah, gak usah dihabisin," ucap Junyi yang semakin kesal dengan tingkah adiknya.

"Gak mau, nanti mienya nangis." Yuna mengerucutkan bibir.

Junyi mengerutkan keningnya terkejut, sejak kapan Yuna sepolos itu?

"Terserah. Cepat habisin makannya." Junyi melirik jam di tangannya, sepuluh menit lagi pukul enam tiga puluh akan tiba. Yuna masih asyik dengan mienya. Sekarang ia malah semakin memperlambat tempo kunyahanya.

"Yuna cepat, itu di tunggu kakakmu!" Nenek Chyou menyahut dari arah dapur.

"Dengar kata nenek?"

Yuna menghela napas. "Enggak dengar, gimana?"

Junyi kesal, ditariknya tangan Yuna dengan paksa. Sampai-sampai gadis itu jatuh tengkurap karena kakinya menyangkut di kaki meja.

"Akh, dadaku." Yuna bangkit dan duduk sambil mengelus dadanya. "Bisa rata nih."

"Yuna, ma—"

"Duluan aja sana!" Yuna berdiri dan kembali duduk di kursinya.

"Gak! Kakak gak mau duluan. Nanti kamu gak sekolah kayak kemarin lagi."

"Itu tahu," ucap Yuna acuh tak acuh. Saat ini ia tengah menyuapkan kuah mie ke dalam mulutnya.

"Astaga! Makanya Kakak nungguin kamu supaya gak bolos lagi. Bentar lagi mau ujian loh, malah sering bolos. Bilangin nenek, ajalah."

Yuna berdecih, lagi-lagi ancaman itu keluar dari mulut milik Junyi.

Padahal, nenek aja gak terlalu ngelarang.

Tidak peduli, Yuna kembali fokus dengan mienya yang tersisa seperempat mangkuk.

"Yuna." Panggilannya tak dihiraukan. Junyi kembali melirik jam di pergelangan tangan. Astaga! Lima menit lagi jam enam tiga puluh akan tiba!

"Yuna!"

Yuna benar-benar membiarkan kekesalan Junyi meledak. Sampai sekarang ia belum beranjak sedikitpun. Tunggu sebentar lagi, kakaknya itu pasti akan meninggalkannya. Dan bebaslah Yuna.

Benar, di saat itu juga Junyi pergi dengan kekesalan setengah mati. Sudah tiga kali adiknya tidak sekolah dalam seminggu hanya karena malas. Sungguh itu tidak bisa dibiarkan. Apalagi sebentar lagi ujian kenaikan kelas akan tiba.

A Pair of DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang