Baikan
***
Junyi mengembuskan napasnya, lagi. Sudah berjam-jam dia membaca buku yang bahkan jarang disentuh saat di rumah, buku pelajarannya. Bagaimana lagi? Junyi tak punya opsi lain jika ingin nilai ujiannya bagus dan lulus dengan baik. Dia harus belajar. Besok adalah ujian terakhirnya untuk kelulusan.
Terlihat, jam menunjukkan pukul sebelas malam. Sudah larut, tapi masih ada satu buku yang belum sempat ia baca. Sial.
Junyi menguap lebar. Dia belajar dari pukul tujuh dari tiga buku dengan pelajaran yang sama. Namun, empat jam ini baru dua yang selesai. Mungkin, dia bisa menyalahkan adiknya. Entah sengaja atau tidak, Yuna menyetel JBL-nya keras-keras.
Lagu-lagu Mariah Carey seperti: When You Believe, Always Be My Baby, One Sweet Day, My All, Hero, Heartbreaker, Emotions, menggema di kamarnya sampai tembus ke kamar Junyi.
"Ewh, selera Yuna jelek banget. Seenggaknya, setel lagu yang lebih kekinian gitu." Junyi bergidik memikirkan adiknya yang ternyata menyukai lagu-lagu tahun 90-an itu. Sangat tidak cocok dengan telinga Junyi yang lebih menyukai musik masa kini.
Jelas, itu terdengar mengganggu telinga dan pikiran Junyi. Dia jadi tidak fokus belajar beberapa waktu.
Shit! Mentang-mentang udah selesai ujian, seenaknya ganggu orang belajar. Junyi mengumpat dalam hati.
Kelas sepuluh dan sebelas, memang sudah menyelesaikan ujiannya dari seminggu lalu.
Ya, begitulah. Mungkin juga, Yuna balas dendam karena saat dia sedang belajar untuk ujiannya lalu, Junyi terus datang mengganggunya. Mengoceh tidak jelas dan menjahilinya. Kakak laknat! Adiknya belajar malah diganggu!
Meski tidak terang-terangan seperti Junyi yang mengusik ketenangan belajarnya, aktivitas Yuna itu benar-benar ampuh membuat Junyi mendengkus sebal seraya mengumpat tertahan.
Mampus aja, Kak Junyi! Yuna menyumpahi kakaknya diam-diam.
Beruntung, Junyi juga punya ide yang cukup baik. Dengan perasaan berkecamuk di datanginya kamar sebelah. Dia mengambil paksa JBL-itu dan meletakkan di kamarnya. Oh, tidak sampai di situ. Dia juga sempat mengunci pintu kamar Yuna dari luar. Akibatnya terkurunglah Yuna di sana.
Tapi tetap saja masih ada yang mengganggunya. Yuna berteriak kesal, menyumpahi kakaknya yang sangat menyebalkan itu. Tidak sampai dua puluh menit, teriakkannya berhenti. Junyi pikir, adiknya lelah karena terus teriak. Saat itu jam masih menunjukkan pukul sembilan malam. Mungkin saja, Yuna sudah tidur.
Kini, Junyi membuka pintu kamar adiknya. Dia mendekat ke ranjang—Yuna terlelap di sana. Diusapnya kepala sang adik, Junyi merasa nyaman.
Hingga sepuluh menit berlalu. Junyi memutuskan untuk kembali. Dia harus belajar dari satu buku lagi. Baru menutup pintu kamar adiknya, sesuatu bergetar di saku celana.
Junyi mengernyit saat menatap layar ponselnya yang memunculkan nomor asing. Panggilan pertama itu tidak di hiraukan. Sampai di panggilan ke empat, saat Junyi sudah fokus dengan bukunya, dia berdecak kesal menerima panggilan telepon itu.
"Kenapa?" Bukan awal yang ramah, Junyi bertanya ketus.
"Besok ujian. Sepulang sekolah, lo temui gue di halaman belakang gudang sekolah. Sendiri."
Junyi mengernyit. "Siapa?"
"Lo harus dateng kalau mau semuanya baik-baik aja." Agaknya, Junyi mendengar sebuah ancaman dari kata sang penelepon.
Lantas, dia bertanya khawatir dengan nada yang tersulut kemarahan. "Maksud lo apa? Ngancem gue?"
"Nggak."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Pair of Destiny
Fiksi PenggemarKehidupan baru Zhang Yuna di kota Beijing tak semulus yang dibayangkan. Apalagi ketika ia terlibat masalah dengan He Xinlong. Sebuah problema yang timbul akibat keterdiaman Yuna. Namun, diantara cerita-cerita hidup menyebalkan itu Yuna bertemu denga...