19 | My

290 36 0
                                    

“Your pain, my happiness.”

|

|

Malam itu, aku pulang dengan perasaan hancur—remuk redam. Nyeri. Beberapa kali menyeka air mataku yang tak henti-hentinya merembes, sukses membuat mataku membengkak di pagi harinya.

Aku bersiap dengan malas, memakai beberapa riasan untuk menyamarkan bengkak di wajahku.

Aku hanya berusaha bersikap profesional sekarang dan tidak seenaknya keluar masuk kantor hanya karena sebuah perasaan klise belaka.

Setelah membayar taksi, aku menghela nafas dan menyusuri lobby perusahaan dengan wajah setenang mungkin. Beberapa karyawan menyapaku sambil membungkuk, dan aku membalasnya hanya dengan senyuman tipis.

Saat aku berniat masuk ke dalam lift, seseorang tiba-tiba saja berteriak memanggil namaku.

"Hyeri-ya!"

Aku menoleh, mendapati Yoora dengan tergesa-gesa berlari ke arahku. Aku menekan tombol supaya lift tetap membuka, memberi kesempatan Yoora untuk ikut masuk.

"Ya, wae geurae?" Aku memandangnya khawatir. Takut sesuatu terjadi.

Yoora balas menatapku dengan wajah terengah-engah. "Harusnya aku yang bertanya padamu. Kenapa kemarin kau tiba-tiba saja menghilang?"

Aku terdiam dan mengalihkan pandangan.

"Ya, jawab aku. Apa ada masalah?"

Dengan ragu aku menggeleng, beruntung karena pintu lift segera terbuka dan dengan cepat aku menghambur keluar.

"Yoora-ya, kurasa aku akan sibuk hari ini. Mari kita bicara lagi nanti." Aku tersenyum canggung sebelum pintu lift menutup kembali.

Syukurlah, aku selamat.

Aku masuk ke dalam ruanganku dengan langkah cepat dan menemukan sebuah sticky notes di atasnya.

'Ayo kita makan siang bersama! Valentine Cafe, jam 2 nanti.'

Aku terkekeh pelan, meyakini semua ini adalah ulah Si Mantan Kekasih.

"Kau ingin membuatku sulit move on hmm? Park Jimin?"

Aku memandangnya sebentar sebelum memasukkan sticky notes itu ke dalam saku dan mulai menyalakan komputer.

"Hyeri-ya, kau disuruh Sajangnim untuk menyerahkan data bulan ini ke ruangannya." Ucap salah seorang karyawan.

Aku mengangguk dan mengambil map berwarna biru yang telah kusimpan rapi dari jauh-jauh hari.

Aku menghela nafas pelan setelah sampai di depan pintu besar berwarna hazel itu. Aku kemudian mengetuknya pelan dan masuk setelah dipersilahkan.

Kulihat Taehyung sedang sibuk membaca sebuah data yang kujamin penting. Ia benar-benar tampak seksi dengan kacamata baca di wajahnya dan kancing bajunya yang terbuka beberapa.

Sial. Mesum sekali.

Aku menggeleng sambil mengerjap beberapa kali—berusaha menyingkirkan hal-hal kotor dalam pikiranku.

"Sajangnim, kau memintaku membawakan data bulan ini?" Tanyaku sembari menyerahkan map ke atas mejanya.

Taehyung tersenyum dan melepas kacamatanya. "Sepertinya sudah kau siapkan dari jauh-jauh hari."

Aku mengangguk, membalas senyum Taehyung yang tampak manis. "Semoga saja tidak ada kesalahan di dalamnya."

Taehyung terkekeh sebelum meletakkan map biru itu ke ujung meja. "Setelah ini mau makan bersama?"

Aku terdiam sejenak. "Ya?"

"Bagaimana kalau kita makan siang bersama nanti?" Tanya Taehyung lagi, kali ini dengan tatapan lembut.

Aku tidak tahu harus menjawab iya atau tidak, teringat dengan ajakan Jimin. Tapi melihat tatapan Taehyung, aku benar-benar tidak bisa juga menolaknya.

Entahlah, melihatnya.. Aku benar-benar bisa berkata bahwa dia manis. Manis sekali.

"Baiklah." Akhirnya aku mengangguk ragu. "Bagaimana jika di Cafe Valentine?"

•••

Jadi beginilah kami sekarang.

Dengan keadaan yang amat sangat terbilang canggung, Jimin, aku dan Taehyung di satu meja.

Aku heran, bagaimana bisa Jimin dan Taehyung menjadi rekan bisnis? Bahkan mereka sama sekali tidak berbicara sedari tadi.

Aku berdeham guna memecah keheningan. Kulihat tatapan Jimin mengarah padaku, memperlihatkan bahwa dia tidak menyukai siapa yang aku ajak.

"Hyeri-ya, kau suka Cappucino kan? Mau aku pesankan?" Tanya Taehyung tiba-tiba.

Belum sempat aku menjawab, Jimin sudah lebih dulu menyela. "Andwe, Hyeri tidak boleh minum kopi."

Aku berdeham kesal melihat kelakuan Jimin. Masalahnya ada Taehyung disini, aku tidak bisa seenaknya memaki Jimin di depannya. "Ya!" Teriakku pelan.

"Wae?" Jimin menatapku tanpa rasa bersalah sedikit pun.

"A-anni Sajangnim, aku minum Cappucino saja." Aku tersenyum pada Taehyung.

Jimin menyikut tanganku pelan, dia berbisik. "Kau mau sakit lagi, hah?"

Aku berdecak, menatapnya malas. "Bukan urusanmu, Jim. Berhentilah, kau bisa membuat Sajangnim curiga."

Mendengar hal itu, Jimin malah tersenyum mengejek dan membuatku gugup setengah mati. Apa yang mau dia lakukan?

"Jim, jangan macam-macam." Ucapku memperingatkan.

Jimin hanya mengindikkan bahu membalas ucapanku. Ia tiba-tiba saja mengambil tanganku dan mengelusnya. "Tanganmu halus sekali."

"Ya! Keparat!" Teriakku pelan dan berusaha melepaskannya dari Jimin.

Jimin tampak sekali melakukannya dengan sengaja. Dia benar-benar ingin mati sepertinya.

"Ya bodoh, Sajangnim bisa melihat!" Aku menatap was-was Taehyung yang sedang sibuk memesan.

Tak peduli dengan gertakanku, Jimin malah mengecup tanganku. Aku membulat dan spontan menginjak kakinya.

Ia memekik dan akhirnya melepas tanganku.

Melihat Jimin yang tampak kesakitan, Taehyung menatapnya khawatir. "Ya, wae geurae?"

Dengan susah payah, Jimin tersenyum kecil lalu menggeleng. "A-anniya, tiba-tiba saja aku digigit semut." Ucapnya asal.

Aku menahan tawa dengan sebisa mungkin, kebahagiaan tersendiri melihat Jimin menderita.







[]

Ciee, Jimin—Hyeri berlayar gengs. ><

NEXT-20:

"Choi Aera?" Aku bergumam kesal. "Katanya dia kembali untukku, apa-apaan dengan Choi Aera?"

Three Hassles ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang