“Our memories in the past.”
|
•
|
Aku duduk diam termenung. Sesekali menghela nafas dan memandang kosong ke arah jendela kantor.
Sejujurnya aku merasa lesu seharian ini, beberapa bulan yang ada benar-benar harus diatasi dengan susah payah.
Untuk kesekian kalinya aku memikirkan Jimin, memikirkan keadaan laki-laki itu. Aku menghembuskan nafas kasar, merasa kesal sendiri karena aku peduli.
"Aku mati-matian memikirkannya, tapi yang dipikirkan malah rela pergi tanpa pamit."
"Sedang menyindir seseorang?"
Tiba-tiba saja lamunanku dikejutkan oleh Cheonsa yang duduk di sebelahku. Ia menatapku dan memicingkan mata. "Apa Jimin? Kau memikirkan Daepyonim?"
Aku tersedak dan menggeleng, memalingkan muka. "Omong kosong macam itu?"
"Eiy. Reaksimu menunjukkannya bodoh." Cheonsa melipat kedua tangannya. "Aku bisa melihat bahwa sebelumnya kalian berhubungan."
"Ma—"
"Aku tahu Hye-ya." Cheonsa lebih dulu memotong ucapanku. "Apa kalian bertengkar? Atau dia menembakmu?"
Aku menghela nafas kasar. Pada akhirnya memutuskan untuk menyerah. "Anniya. Aku saja yang mungkin bereaksi berlebihan."
"Ada apa? Apa dia melakukan sesuatu yang kau benci?"
Aku menggeleng. "Jimin pergi tanpa pamit sama sekali kepadaku."
"Kapan? Saat kalian makan bersama?"
Aku membulatkan mata, cukup terkejut mendengar tebakan Cheonsa. "Ya, bagaimana kau bisa tahu?"
Cheonsa berdecak, tidak ambil pusing dengan reaksiku. "Bukan itu yang harus dipikirkan. Coba ceritakan apa maksudmu Jimin pergi tanpa pamit."
"Geunyang. Semuanya begitu."
Cheonsa lagi-lagi berdecak, kesal sendiri karena jawabanku yang seadanya. "Ya kau mau Jimin kembali tidak?"
Tanpa sadar aku mengangguk. "Tentu saja."
"Kalau begitu ceritakan. Aku harus tahu kronologinya."
Aku menatap Cheonsa selama beberapa saat sebelum akhirnya mulai bercerita. Aku bahkan lupa bahwa sebelumnya hubungan kami merenggang.
"Jimin menerima telefon. Saat aku melihatnya, itu dari gadisnya yang ada di Canada."
"Jadi kalau gadisnya ada di Canada.. Sebelumnya Jimin tinggal disana begitu?"
Aku mengiyakan perkataan Cheonsa. "Dia awalnya tinggal di Korea, tapi pindah ke Canada."
Cheonsa mengangguk, mulai mengerti. "Okay.. Aku sedikit paham. Lalu kenapa Jimin kembali kesini?"
Aku menghela nafas pelan bersiap menjawab. "Dia bilang dia masih mencintaiku, itu sebabnya dia kembali. Namun melihat ekspresinya waktu itu, mungkin Jimin masih mencintainya."
Cheonsa mendengus kesal, entah merasakan hal yang sama denganku atau tidak. "Dasar gadis pelakor. Mana mungkin dia masih saja berani menghubungi Jimin?"
Aku mengindikkan bahu acuh. "Keluarga Jimin yang menjodohkannya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Lagipula mereka sudah menikah walaupun bercerai."
"Apa? Apa katamu barusan? P-Park Jimin sudah menikah?" Cheonsa membulatkan matanya terkejut. "Bagaimana bisa.."
"Dia sudah bercerai. Tenang saja." Ucapku santai.
"Ya bagaimana kau bisa setenang itu mendengar kekasihmu menikah?"
Aku mendengus, sedikit tidak suka dengan ucapannya. "Tentu saja aku sakit. Sebelumnya aku juga tinggal di Canada. Aku memutuskan untuk pindah karena Jimin yang tiba-tiba saja menikah. Rasa sakitnya sudah cukup lama."
Cheonsa terdiam sejenak—membutuhkan waktu untuk mencerna seluruh ucapanku. "Jadi kau dan Jimin, serumit itu? Kau sebelumnya tinggal di Canada? Astaga, aku pusing."
Aku terkekeh pelan, mungkin juga jauh lebih rumit daripada sekedar kata-kata. Aku melanjutkan ceritaku yang sempat terpotong. "Aku dan Jimin berpacaran dari kuliah. Mungkin sudah setahun—atau lebih. Saat pertama kali bertemu dengannya, itu sungguh lucu." Aku sedikit terkekeh karena tiba-tiba saja memori setahun lalu terputar. "Dia, benar-benar mampu membuat jantungku berdebar melebihi ritme. Dia itu jahat kan?"
Cheonsa mengangguk lalu memajukan kursinya. "Ayo ceritakan bagaimana awal kalian bertemu! Aku penasaran."
Aku menghela nafas, bersiap bercerita.
"Hari itu, hujan turun di seluruh langit Canada.."
"Ah sial. Kenapa harus hujan? Aku bahkan lupa membawa payung." Aku mendengus kesal sambil menatap langit yang sedikit demi sedikit mulai menghitam.
Aku ada kuliah pagi hari ini dan aku benar-benar sudah terlambat. Aku tidak bisa kena suspen hanya gara-gara cuaca. Itu memalukan.
"Ah aku menyesal menonton BTS kemarin." Aku mengambil langkah untuk menyebrang—berniat memanggil taksi sebagai cara terakhir terhindar dari hujan.
Disaat aku ingin menyebrang, entah darimana seorang pria menabrakku. Aku hampir saja jatuh karena kehilangan keseimbangan namun tangan pria itu buru-buru mencegahku.
"Are you okay?" Tanyanya khawatir.
Aku mendongak, mengecek siapa yang berani-beraninya menabrakku hingga hampir terjatuh di saat hujan seperti ini.
Aku terdiam melihat perawakannya yang sangat mirip seperti orang Korea, sama denganku.
"Oh, apa kau bisa bahasa Korea? Kau tampak seperti orang Korea." Tanyanya lagi namun kali ini dengan senyuman.
Saat aku ingin menjawab, tetesan air hujan tiba-tiba saja mengenai hidungku. "Akh." Desisku spontan.
Kudengar pria itu terkekeh, menganggapku lucu karena terkena hujan. "Ayo kita menepi, hujan mulai deras."
Aku mengangguk dan membersihkan air hujan dari hidungku.
"Namaku Park Jimin." Ucapnya tiba-tiba.
Aku menatapnya dan terdiam karena dia benar-benar tampan. "A-aku Hyeri. Kim Hyeri."
Jimin tersenyum hingga kedua matanya menyipit. "Woah, mungkin hujan sengaja turun untuk mempertemukan kita. Kita bahkan sama-sama orang korea. Apa ini yang disebut takdir?"
[]
Ditutup lagi dengan flashback. >< Sdh terkuak juga masa lalu Jimin sm Hyeri.
Hyeri itu asalnya tinggal di Canada, dia ketemu Jimin di kampus, baru pindah ke Korea.
KAMU SEDANG MEMBACA
Three Hassles ✔
Fanfic[COMPLETE•Follow first] 'Choose one. The Cold CEO, The 'Bad' Guy, or Ex-boyfriend?' Hidupnya sudah rumit disaat Hyeri harus berurusan dengan atasannya yang kelewat misterius, Kim Taehyung di Perusahaan. Semua kerumitan itu seakan bertambah dikala di...