18 | First

306 43 8
                                    

“You know? You're a person who make me hate a life for the first time.”






|

|





Aku pernah menjadi bodoh dalam suatu situasi. Menjadi linglung dan tidak tahu apa-apa, dihujat dalam segala arah.

Aku juga pernah dibicarakan dari belakang, melihat orang begitu memperlakukanku dengan baik tapi nyatanya hanya mendekatiku untuk suatu tujuan tertentu.

Aku pindah menuju Seoul karena aku kehilangan tempat untuk tinggal. Situasi yang benar-benar tidak memihakku, hatiku yang terlampau sakit, dan tekanan yang terlalu besar, membuatku memutuskan untuk melarikan diri hanya demi kenyamanan hidup.

Entahlah, kadang kala aku merasa bahwa Tuhan memberiku masalah yang terlalu berat.

Mungkin ia pikir aku dapat mengatasi semuanya karena berlaga sok kuat, tapi kenyataannya aku tidak sanggup.

Aku benci orang yang berbohong dan membicarakanku dari belakang.

Terkadang mereka membuatku jijik walau yang mereka bicarakan adalah fakta yang kenyataannya terlampau menyakitkan jika kita ketahui.

... Seperti saat ini.

"Aku kasihan."

Suara salah satu karyawan terdengar dari salah satu bilik toilet.

Aku melepaskan tanganku dari kenop pintu, mengurungkan niatku yang ingin keluar dan memutuskan untuk mendengar apa yang mereka bicarakan.

"Kudengar, Jeon Isajangnim dekat dengan Hyeri supaya bisa dekat juga dengan Cheonsa."

Tubuhku mendadak kaku setelah mendengar hal itu. Punggungku refleks bersandar pada dinding sebelum air mata menggenang di dalam pelupuk.

Tidak, ini pasti salah. Mereka hanya membicarakan gosip murahan.

"Eiy seolma.. Kurasa Isajangnim tidak seburuk itu untuk menyakiti dua wanita sekaligus."

"Jinjjaya! Aku mendengarnya dari atasan kita, saat aku ingin mengantarkan dokumen."

Mendengar hal itu, rasa sakit ini benar-benar tidak bisa kutahan lagi. Jungkook.. Dia benar-benar jahat.

"Aku tidak menyangka dia bisa sebrengsek itu. Bagaimana dengan persahabatan Cheonsa dan Hyeri? Mereka teman dekat kan?"

Aku terisak namun berusaha sekuat mungkin menutupnya dengan bungkaman mulut.

Rekaan setiap adegan Jungkook denganku terputar jelas di kepala. Semuanya begitu jelas terlihat. Aku benar-benar hancur.

Tak kupedulikan lagi obrolan mereka selanjutnya, dan dengan sisa-sisa tenagaku, kuraih kenop pintu dan keluar dari bilik toilet.

Bisa kulihat tatapan terkejut dari mereka. Terutama melihatku yang menangis, membuat mereka sadar bahwa aku mendengar semuanya.

Sungguh, aku tidak peduli lagi dengan citraku di depan mereka. Aku menatap mereka sekilas sebelum kemudian keluar dari toilet.

Aku butuh udara segar.

•••

Salah satu hal yang bisa menenangkanku disaat masa titik terendahku adalah menatap langit. Bintang, bulan, dan kerlap kerlip malam yang menjadi satu.

Kuhirup dalam-dalam angin malam yang menerbangkan helaian-helaian rambutku. Rasanya begitu menyejukkan. Aku bahkan tidak peduli lagi dengan kantor. Mungkin aku akan mendapat surat peringatan karena menghilang secara tiba-tiba.

"Menatap langit?"

Aku menoleh, mendapati Jimin sedang tersenyum kearahku. Ia kemudian berdiri di sampingku, ikut menghirup udara malam.

"Kenapa kau disini dan bukannya di Perusahaan?" Tanyaku pelan.

"Aku mencarimu tahu. Kau tahu bagaimana cemasnya aku?"

Aku terkekeh pelan kemudian menengadah. "Untuk apa mencemaskan orang yang tidak ada lagi dihatimu?"

Jimin mendengus, tidak suka mendengar ucapanku. "Kau masih ada dihatiku."

"Aku—hancur Jim."

Aku tersenyum miris, tidak sanggup membalas tatapannya.

"Apa ini tentang Jungkook? Ah, aku cemburu."

"Aku akan mengakhiri semuanya." Memberanikan diri, aku menoleh. Membiarkan Jimin melihat bagaimana hancurnya aku sekarang.

"Apa seberat itu?"

Aku menggeleng. "Anniya, aku hanya merasa bodoh karena dengan mudahnya menyalahartikan maksud dan niat baik seseorang."

"Kau memang buruk dalam menilai dan membacanya, Hyeri-ya."

Aku mengangguk dan terkekeh, begitu menyesal karena menaruh perasaan pada orang yang salah. "Aku bodoh ya?"

Jimin bersedekap dan tidak menyukai ucapanku barusan. "Meski kau tidak bisa menilai seseorang, apa aku pernah bilang kau bodoh?"

Aku tersenyum kecil dan menggeleng. Membiarkan Jimin berbicara.

"Hyeri-ya, dia hanya bukan jodohmu. Kau bahkan tidak perlu menyesalinya. Masih ada banyak pria lain yang menunggumu. Kenapa terlalu dipikirkan?"

Aku tertunduk, berusaha menahan air mataku yang lagi-lagi ingin menjatuhkan diri.

"Haruskah aku beri pelajaran si brengsek itu?"

Aku buru-buru menggeleng menahannya. "T-tidak Jim. Dia tidak tahu apa-apa tentang perasaanku. Jungkook.. Dia tidak bersalah."

Jimin tampak tak percaya dengan ucapanku barusan. "Apa kau baru saja membelanya?"

"Aku tidak membela siapapun. Aku hanya tidak ingin kerja sama perusahaan batal begitu saja karena masalah sepele seperti ini."

"Tapi Hye—"

"Bisakah aku pinjam bahumu?"

Jimin terdiam—membiarkanku maju dan memeluknya. Perlahan air mataku yang tertahan sedari tadi jatuh begitu saja.

"Aku.. Tidak mau berurusan dengan cinta lagi Jim. Kurasa ini sudah cukup. Aku benar-benar tidak sanggup lagi."











[]

Dengan Jk.. end guys—tinggal dua kandidat lagi. Tim Taehyung or Tim Jimin-ssi? ><
See you in the next chapter!

Three Hassles ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang