(2)

47K 936 147
                                    

Gue melongo pas naik ke bus dan liat bangku belakang penuh penumpang. Mereka nggak abis beranak kan? Kok bisa mendadak penuh gini dalam waktu kurang dari sejam? pikir gue sambil noleh ke hendar yang udah lebih dulu masuk. Diliat dari ekspresinya, dia juga sama bingung kayak gue.

"Perasaan tadi pas turun masih kosong dah?" gumam Hendar kurang yakin sambil nengok ke gue.

"Emang kosong kali," timpal gue sambil edarin mata. Mencari petunjuk akan misteri kemunculan penumpang gelap itu yang kini duduk berdempet di bangku belakang bus. "Atau bisa jadi mereka salah masuk bus dan nyasar ke sini."

"Nggak kok, mereka emang disuruh sopir ngungsi kemari," celetuk penumpang yang duduk di kursi dekat kami berdiri. "Ada kerusakan mesin di bus mereka. Makanya si sopir pindahin semua penumpang ke bus yang masih ada kursi kosong."

Oh, begitu. Pantesan jadi sumpek gini, batin gue sambil berjalan menuju bangku hendar dan tertegun liat emak-emak paroh baya duduk di sana bareng Gea.

Hendar ngelirik gue dengan sorot nggak enak hati. Gue tau arti tatapan itu: gue mesti hengkang dari bangku mereka karena nggak mungkin kan kita tega ngusir nenek-nenek?

"Ya udah, kalo gitu gue balik ya," pamit gue dengan berat hati, ngalah sama orang yang lebih tua.

Hendar cuma ngangguk trus duduk di samping si nenek itu yang sibuk main sama si balita. Seakan nggak ada apa-apa di antara kita. Emang sih nggak terjadi apa-apa, tapi kan seenggaknya dia ngomong apa gitu biar gue nggak ngerasa digantungin.

"Udah?" tanya temen sebangku gue pas gue duduk melesak di kursi deket jendela. "Godain papa muda itu?" sambungnya pas liat gue bengong.

Kontan gue langsung noleh ke cewek kutu buku itu. "Gue cuma bantu nolongin dia, kok!" elak gue rada kaget juga sih. Gue nggak nyangka kalo tuh cewek udah ngawasin gerak-gerik gue. Duh, bisa bahaya nih! Apa dia juga liat gue pas lagi grepein selakangan Hendar?

"Nolongin apaan? Musang (muka sange) kayak lo pasti otaknya nggak bakalan jauh-jauh dari masalah selangkangan!" tuding si cewek sambil natap mata gue. "Ngaku aja. Gue udah liat semua kelakuan busuk lo."

Untung ada speaker yang lagi muterin lagu dangdut sehingga cukup meredam suara cewek itu. Lonte! Gue mesti ngeles gimana coba?

"Nggak jawab bearti bener," kata cewek itu puas.

"Mau lo apaan sih campurin urusan gue?" tanya gue coba alihin topik obrolan yang menyudutkan gue. "Perasaan gue nggak ada salah sama lo."

"Santai aja. Gue nggak bakal laporin lo kok," ucap si cewek nenangin gue. "Karena kita sohiban."

Kening gue mengerut. "Lo homo?"

Jitakan mendarat mulus ke pala gue. "Lesbi dodol! Gue doyan meki, bukan kontol!"

"Sama aja kutil!" sungut gue sambil usapin kepala bekas jitakan cewek itu.

"Trus gimana modus lo? Sukses?" tanya cewek itu penasaran.

"Nggak sepenuhnya gagal sih," jawab gue sambil gelengin kepala dengan murung "Masih ada peluang, meski minim."

Sisa perjalanan itu, kami habisin dengan ngobrol. Ternyata cewek itu asik juga. Selalu bisa cari bahasan topik menarik. Sampe gue nggak sadar kalo udah sampe ke tempat tujuan.

"Gue turun duluan yak," pamit gue sambil bangkit dan bersalaman sama cewek itu dan mengambil barang bawaan dari bagasi bus itu.

Badan gue mengigil pas angin dari kendaraan yang melintas berembus kenceng. Gilak, bisa mati beku gue! batin gue sambil gosokin tapak tangan.

Kepala gue langsung celingukan ke kanan-kiri cari tukang ojek yang biasa mangkal di deket situ. Tapi ngeliat barang bawaan gue yang seabrek, gue urung jadi naik ojek. Mana nggak ada angkot pula! Masa mesti jalan kaki sih? Yang ada gempor kaki gue!

Gelora Cinta saat Mudik Lebaran [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang