Jurit Malam 2

2K 125 1
                                    

Brugh!

"Allahuakbar! Aaaaaaaaaaa...!"

Aku terjatuh. Terpeleset tanah licin lembab berlumut di tepi jurang. Iya benar, jurang! Kakiku tidak menyentuh dasarnya. Tanganku, tanganku berpegang erat pada akar atau batang tanaman, aku tidak tahu! Gelap. Tak terlihat apa pun. Aku hanya bisa menghirup aroma humus yang tepat menempel di wajahku.

"Diaaaaaaaahhhhh...!" teriakan Salma menggema di seantero hutan lindung Sukabumi.

"Salmaaa...! Tolong!" ujarku berteriak, berharap dia bisa mendengar.

"Diaahh...? Kamu di bawah sana? Gak apa-apa? Aku gak bisa lihat kamu! Astaghfirullohal'adzim... Diaahh..."

"Salma, tolong! Aku menggantung sekarang!"

Aku lihat kelebatan cahaya, itu pasti berasal dari ponsel Salma. Kakiku mulai meraba-raba, mencari sesuatu yang bisa kujadikan pijakan. Laa hau laa wa laa quwwwata illa billah. Tolong aku, ya Allah! Entah seberapa dalam dasar jurang ini. Aku tak berani melirik ke arah bawah sama sekali.

"Diah? Apa kamu masih di situ?? Aku ga bisa lihat kamu. A - Aku ... Aku cari bantuan sebentar. Kamu bertahan, ya!"

"Salma! Jangan tinggalin aku. Aku takut!"

"Sebentar, Diah! Aku cari bantuan dulu!"

Aku pasrah. Suara langkah kaki Salma sudah menjauh...

Kakiku tidak bisa mendapat pijakan apa pun. Aku masih berusaha, kucoba mengangkat kaki lebih tinggi, berharap ada sesuatu yang membantu.

Yes! Kaki kiriku menginjak sesuatu yang padat. Aku injak lebih kuat! Setidaknya tanganku tidak terlalu terbebani gaya gravitasi lagi. Kaki kananku juga aku tarik untuk menginjak pijakan yang sama. Tapi, sampai kapan aku harus bertahan? Allah...

Waktu berjalan begitu lambat, ketakutan mulai menyergap. Aku sangat takut jika ada hewan melata yang berjalan mendekat. Tubuhku bergidik sepenuhnya. Spontan aku berteriak, "Toloooooong...!!!"

Belum ada siapa pun. Hening. Bahkan tak terdengar suara hewan nokturnal sama sekali. Mataku mulai berembun, basah, sama seperti tanah dan dedaunan di sekitarku. Aku belum mau mati, amalanku masih sedikit. Dosaku selangit. Astaghfirullahal'adzim....

Sejurus kemudian seberkas cahaya tampak melewati puncak kepalaku.

"Pegang tangan ane!"

Siapa?

Aku menengadah, menyipitkan mata yang silau oleh cahaya senter yang besar.

Suara itu, siluet tubuh itu, Bang Satya!

Ya Allah, kenapa harus diaaaaaa...?

"Diah, ayo pegang tangan ane!"

Dia menyibak semak dan mencabut beberapa tumbuhan di atas sana. Tangan kanannya terulur, berusaha menggapaiku. Tangan kirinya berpegangan erat pada sebuah pohon paku. Senter itu masih menyala, diletakkan begitu saja di sebelahnya.

Otakku berpikir cepat. "Enggak mau," jawabku spontan.

"Kenapa?"

"Belum halal."

"Kode banget minta dihalalin."

"Astaghfirulloh...!"

"Kenapa?"

"Bisa-bisanya Abang bercanda di saat seperti ini!"

"Darurat Diah, boleh."

"Abang yang nanggung dosanya kalau gitu!"

"Ya ampun, ini akhwat."

Bang Satya kembali mengambil senternya, dia menerangi sesuatu di bawah sana.

"Ga terlalu dalam kelihatannya. Kamu bisa lompat ke bawah sana kalau gak mau lama-lama menggelantung seperti itu. Kira-kira 1,5 m jaraknya sampai ke tanah. Pilihan kamu sekarang ada tiga. Pertama, raih tanganku. Insyaallah kamu aman. Kedua. Tetap bergelantung seperti itu, sambil menunggu yang lain. Ketiga, kamu lompat ke bawah sana. Supaya tanganmu gak kesakitan terlalu lama. Aku menunggu di sini."

Selalu begitu. Tegas, cermat, koleris, aku suka semuanya. Istrinya kelak akan mendapat imam yang perfect. Membimbing ke arah jalan kebenaran, mengingatkan kesalahan. Innalillahi... Mikir apa aku di saat begini. Gusti....

"Diah?"

***

Bersambung ~

Ta'aruf Ainul Mardhiah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang