"Nyesek aku tuh, Na. Rasanya ... Hiks, rasanya kayak aku udah mencoreng nama baik keluarga, udah mencoreng kehormatan sebagai seorang muslimah!""Astaghfirullah ... Istighfar, Diah ... Udahan dong, nangisnya ...," Ratna masih berusaha menenangkan. "Kita nonton aja lagi yuk, sisa episodenya..."
"Males! Nonton itu jadi keingetan sama Bang Haidar! Emang siapa yang pacaran?! Suka sama dia aja enggak! Dia kok yang ngejar-ngejar." Aku menyesap air yang keluar dari mata dan hidung bersamaan. Kupeluk erat bantal kesayangan.
Susahnya begini jadi orang baperan. Diomongin orang satu gang aja bisa nangis seharian. Gimana kalau jadi artis atau staf khusus presiden yang diomongin orang se-Indonesia? Eh ...
"Iya, iya. Makanya kamu gak usah nangis begitu. Gak usah didengerin omongan ibu-ibu. Selama kita masih dalam kebenaran, cuek aja. Pedulikan pandangan Allah, abaikan pandangan makhluk! Semua sudah tertuliskan, bahkan helaian daun yang berjatuhan. Jadi anggaplah ini sebagai cobaan."
Aku menatap takjub si Ratna, tumben bener omongannya.
"Itu kata-kata di novel AYNA karya Rita. A, bagus deh. Nanti aku pinjemin." Ratna tersenyum lebar, membuat wajahnya yang bulat tambah membulat.
"Kamu mau naik kelas, Diah. Lagi ujian, Hehehe ... Harus sabar-sabar. Oke?"
"Iya. Makasih ya, Na. Duh, gimana sih biar bisa jadi orang yang cuek kaya kamu. Kadang aku iri sama orang yang bisa easy going. Bodo amatan." Air mataku perlahan menyurut.
"Gimana, ya. Udah bawaan orok juga kayaknya. Hahaha ... Omongan orang itu gak akan ada habisnya, Diah. Tinggal kitanya aja yang harus bangun benteng untuk pertahanan. Sebagai filter juga, siapa tahu bisa jadi masukan buat kita."
Aku senang ada Ratna di sini, kalau tidak mungkin aku jadi down sekali. Kalau sama Ibu, aku gak akan bisa seterbuka ini. Aku anggap ini teguran dari Allah karena aku yang kurang bisa menjaga hati. Sepertinya memang harus dicari obatnya.
Menikah.
Agar tenteram hati, jiwa, dan kehidupanku ... Tapi dengan siapa?
***
Seperti biasa, kami awali hari dengan briefing bersama tim masing-masing. Reza menyempatkan menyapaku pagi tadi, ah bukan hanya tadi pagi. Setibanya di rumah hari Jumat lalu, kemudian Sabtu pagi, bahkan Ahad malam pun dia bertanya melalui roomchat pribadi. Cuma bertanya kabar saja. What's wrong with Reza? Aku tidak mau kegeeran. Belajar untuk gak gampang baperan.
"Diah, are u okay? Kamu sudah sehat?" Bang Satya bertanya di tengah-tengah briefing.
"Alhamdulillah, i'm fine. Makasih, Bang," jawabku tersenyum.
Dia balas tersenyum!
Kesalahanku adalah, aku tidak menundukkan pandangan. Jadi hati ini masih saja klepek-klepek disenyumin Bang Satya. Sadar diri, Diah!
KAMU SEDANG MEMBACA
Ta'aruf Ainul Mardhiah
RomanceBayangannya muncul kembali. Sesak, aku menangis lagi. Selalu begini saat aku sendiri. Kubuka map coklat berisi biodata seorang ikhwan. Seorang laki-laki yang sudah membuatku sakit selama satu bulan. Ah, salah. Bukan dia penyebabnya, tapi rasa i...