"Kalau jalan liat-liat, dong!" kataku galak pada anak laki-laki tambun yang menabrakku dari depan.
"Elu pendek, sih. Mana bisa gue liat? Udah kurus, kecil, item, idup lagi!" timpalnya lebih galak. "Elap tuh, ingus!"
"Gak sopan amat, sih, Lu, Za! Liat tuh, gorengannya jatoh semua! Gantiin pokoknya!"
"Ogah! Elu yang jatohin, kok!"
Dia ngeloyor pergi. Kutarik saja kemeja bagian belakangnya. "Eh, mau ke mana buntelan kasur? Ganti!"
"Enggak mau! Lepasin, Upil!" Reza menepis tanganku kasar.
Sakit!
Aku selengkat kakinya dari belakang. Dia terantuk, jatuh!
"Haha! Sukurin!"
Dia bangun. Lalu mengejarku mengelilingi lapangan upacara. Kalau urusan lari, aku juaranya. Dia tidak akan pernah bisa mengejarku!
Dari jauh aku teriak, "Diet, makanya dieett ...! Hahaha ...!"
Begitulah. Hampir setiap hari aku adu mulut bahkan pernah adu jotos dengan anak sok jagoan itu. Tapi dia pintar, aku juga. Tiap semester kami balapan. Kalau bukan dia yang rangking satu, pasti aku. Selalu begitu.
Itu waktu di sekolah dasar. Kami jadi musuh bebuyutan. Benci sebenci-bencinyaaa aku dengan anak laki-laki bernama Reza Zulfan itu! Apalagi di kelas kami selalu dijodoh-jodohkan. Jadi bahan ceng-cengan. Menyebalkan!
"Kalian entar jodoh loh, berantem terus! Dari benci kan bisa jadi cinta! Cie cie ...."
Atau
"Kalian itu cocok! Yang satu bulet putih. Yang satu kurus item. Anaknya pasti cakep, deh! Hahaha!"
Atau
"Kalau Reza nikah sama Salma anaknya jadi Einstein kali, ya! Wuih ...."
"Ih, amit-amit! Kagak bakalan gua suka sama si Upil!"
Upil. Panggilan Reza padaku.
"Eh, gua juga amit-amit kali! Kagak bakalan juga gue mau sama buntelan kasur!"
Buntelan kasur. Panggilanku pada Reza.
Haha, aku selalu tersenyum saat mengingat semua kenangan indah di SD dulu. Iya, bagiku sangat indah. Saat di mana aku tak mengenali rasa suka. Tak mengerti, apa arti sebuah rasa cinta. Hmm ...
Aku bertemu dengan Reza lagi saat usiaku menginjak remaja atau dewasa muda. Dan dia sudah sangat ... berubah.
***
Kucari namaku di papan pengumuman yang berderet, dipajang di pinggir lapangan. Aku berdesak-desakkan dengan siswa-siswi baru dan para wali murid di sebuah SMA Favorit di Jakarta Timur. Kucari namaku berdasarkan NEM. Wuih, ternyata masih banyak yang nilainya berada di atasku!
Di SD dulu aku selalu jadi yang nomor satu, eh, kadang juga jadi kedua. Di SMP aku masih masuk peringkat lima besar di kelas, dan sepuluh besar di satu angkatan. Lumayanlah. Hmm ... rasanya di SMA ini persaingan akan menjadi semakin ketat!
Lihat saja, nilaiku yang rata-ratanya 9,02 itu ada di peringkat ke-51! Ya ampun, orang-orang pintar macam apa yang berkumpul di sini, Tuhaan ...?
Tadi aku lihat di peringkat 310, paling akhir, nilai rata-ratanya 8,20. Pada akhirnya, mereka yang merasa posisinya tidak aman, takut bergeser jika ada invasi siswa pintar masuk lagi, segera ambil berkas dan mendaftar di sekolah lain. Duh kasihan, alhamdulillah posisiku aman!
Aku penasaran dengan jumlah nilai tertinggi di sini. Pelan-pelan aku bergeser ke arah kiri, menembus kerumunan. Untung aku imut, jadi tidak sulit untuk menyelip-nyelip. Peringkat pertama jumlah nilai rata-ratanya 9,51, wow keren!
KAMU SEDANG MEMBACA
Ta'aruf Ainul Mardhiah
RomanceBayangannya muncul kembali. Sesak, aku menangis lagi. Selalu begini saat aku sendiri. Kubuka map coklat berisi biodata seorang ikhwan. Seorang laki-laki yang sudah membuatku sakit selama satu bulan. Ah, salah. Bukan dia penyebabnya, tapi rasa i...