"Intinya kamu mau enggak, magang di penerbitan?" ucap Salma di telepon beberapa hari yang lalu.
Dan, di sinilah aku terdampar sekarang. Di sebuah gedung berlantai tiga. Bukan, lebih mirip rumah mewah bergaya modern, dindingnya didominasi kaca. Mungkin tadinya sebuah rumah, lalu disulap jadi kantor. CV Tyaga Publisher, di daerah Jakarta Timur. Salma yang mengajakku ke sini malah terlambat datang.
Jaraknya cukup jauh dari rumah. Ah, sebenarnya tidak terlalu jauh, tapi kemacetan ibukota yang never ending itu membuat jaraknya jadi tambah berkali lipat.
"Mbak siapa tadi?" tanya seorang wanita cantik berhijab dengan riasan tipis yang duduk di meja terdepan kantor ini.
"Diah. Ainul Mardhiah."
"Baik, silakan langsung naik ke lantai tiga, Mbak."
"Boleh barengan teman, gak, naiknya? Sebenarnya saya nunggu teman juga sejak tadi."
"Sendiri, Mbak. Kan mau diwawancara. Gantian nanti kalau temannya datang. Santai aja," kata si Embak menenangkan.
"Direkturnya laki-laki atau perempuan?"
"Laki-laki. Ganteng. Baik, kok, orangnya."
'Penting ya, ditambahi keterangan ganteng,' batinku.
"Oke, oke. Makasih, Mbak."
Dalam hati aku merutuki Salma. "Ke mana sih, dia? Dari dulu enggak berubah. Sukanya telat!"
Di lantai dua sekilas aku melihat ada beberapa ruangan dan meja berpenghuni. Netraku menangkap sosok yang aku kenal. Itu, Reza. Dia sedang menatap komputer di depannya dengan tangan terangkat di belakang kepala.
"Reza!“
Yang dipanggil segera mencari asal suara, sekian detik dia terkejut menatapku. Lalu beranjak dari kursinya menghampiri.
"Diah, ngapain anti di sini?“
“Ane mau magang jadi editor. Kata Salma di sini lagi butuh. Iseng aja sih, ane, Akh. Belum mulai cari-cari kerjaan lain juga. Ijazah juga belum turun."
Reza menatapku sebentar, kemudian mengalihkan pandangan. "Ane ngabarin Salma, kenapa yang datang malah kamu."
Kamu?
"Wah, baik banget ente ngabarin Salma langsung. Jangan-jangan ... gosip itu benar, ya?"
Air muka Reza berubah. Mungkin aku salah bicara. Selama ini kami memang tidak pernah berkomunikasi sedekat ini. Berkoordinasi selalu dibatasi hijab di kepengurusan rohis fakultas, atau kepanitiaan. Bicara langsung seperti ini bisa dihitung dengan jari. Tidak pernah wapri. Berbalas pesan hanya di grup saja selama ini.
"Ehem."
"Eh, afwan," ujarku mengalihkan pandangan.
Aku hampir lupa kalau dia juga "ikhwan kelas berat". Dialah pemangku amanah sebagai ketua rohis sepeninggal Bang Satya. Kalau aku jadi apa? Cuma tim penggembira. Haha...
Ddrrtt. Salma menelepon.
"Diah, maaf yaa ... Afwan, afwan. Aku enggak jadi ke sana. Kayaknya aku gak minat jadi editor. Hehehe."
"Ah, yang bener aja, kamu, Sal. Kenapa? Kemarin kamu semangat banget ngajak aku ke sini. Ga seru, ah!"
"Pokoknya kamu harus coba kerja di sana. Aku tahu bakatmu Diah, kamu tuh cocok banget jadi editor. Dah ya, bye. Aku lagi ada kesibukan! Mmuaachh. Goodluck, Ukhty Honey. Eh iya. Salam buat Reza! Assalamu'alaikum!"
Klik.
"Sal-..."
"Dimatiin. Apa-apaan sih, dia?" Aku pandangi ponsel honor-ku yang sudah mati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ta'aruf Ainul Mardhiah
RomanceBayangannya muncul kembali. Sesak, aku menangis lagi. Selalu begini saat aku sendiri. Kubuka map coklat berisi biodata seorang ikhwan. Seorang laki-laki yang sudah membuatku sakit selama satu bulan. Ah, salah. Bukan dia penyebabnya, tapi rasa i...