Menggantung Jawaban

1.9K 139 4
                                    


"Maluuuuu...!" Aku akhiri ceritaku yang menggelantung tadi malam.

"Hahahahaa...!" tawa Salma kembali menggelegaaarr.

"Puaass, kamu, puas ketawaaa...?" Kuletakkan pisau yang sedari tadi kugenggam.

Aku kelitiki perut teman baikku itu. Dia kabur, aku pun terus mengejarnya. Kami masih berada di area hutan. Pagi ini aku dan Salma membantu panitia sie konsumsi masak sarapan pagi. Kami masak di sebuah tenda seadanya dengan terpal dan tali yang diikatkan di beberapa batang pohon pinus.

"Wooooiiii... Balikiiiiinn... Dasar Monyeeeettt...!" seorang akhwat berteriak sangat keras.

Sontak kami berdua menghentikan langkah, melihat ke arah dapur umum. Itu Ristia, adik kelas kami. Dia meneriaki seekor monyet yang membawa kabur sekantong jagung manis mentah. Aku menepuk jidat. Itu sisa jagung yang seharusnya aku dan Salma pipil tadi.

Kami menghampiri Ristia yang sedang berkacak pinggang di bawah pohon berbatang lurus, tinggi, dengan daun lebar-lebar. Entah apa.

"Ke mana monyetnya?" tanyaku.

"Itu, Kak, di atas!"

Ah, yang benar saja. Monyet itu asik memakan jagung kami di sana.

"Jangan bilang kamu mau manjat?" Salma memegang pundakku. Matanya membulat.

"Enggaklah,"

Aku guncang-guncang kuat pohon itu, berharap si Monyet terganggu dan turun. Atau kantongnya terlepas.

"Turun, gak, lo, Monyet! Balikin jagungnya!" Ristia kembali berteriak.

"Galak juga kamu," kata Salma. Dia kembali tertawa terbahak-bahak.

Aku pun ikut tertawa. Kami bertiga mengguncang pohon itu kuat-kuat. Siapa pun yang melihat tingkah kami pasti juga ikut terhibur. Tiga orang akhwat mengguncang pohon demi sekantong jagung yang dicuri monyet. Hahahaha...

Monyet itu lompat ke pohon lain. Kami pun terus mengejar dari bawah. Salma mengambil sebutir kerikil dan coba menimpuknya.

"Eh, jangan, kasihan," sergahku.

Kami kembali mengguncang-guncang pohon. Monyet itu melompat lagi.

Pluk!

"Horeee...!"

Jagung-jagung itu berjatuhan. Si Monyet kabur dengan membawa serta sebonggol jagung. Tak apalah.

Di kejauhan, terdengar riuh sorak-sorai tepuk tangan. Itu... Sekumpulan ikhwan yang ternyata sedari dari memperhatikan aksi kami. Astaghfirullah, malunya...

Salma menggerutu, "Ngapain mereka, dari tadi bukannya bantuin, malah ngetawain! Kita gak usah masakin mereka aja, Kak. Biar kelaparan!"

"Ide bagus. Hahaha..." Kami tertawa bersama.

Aku melihatnya juga, berdiri paling depan di kumpulan itu. Kedua tangannya bersembunyi dalam kantong celana. Tidak ikut bertepuk tangan. Ekpresi wajahnya seperti apa, aku tidak tahu. Mataku minus satu, tidak jelas melihat jauh.

Debar jantungku menguat. Teringat percakapan singkat kami semalam.

"Benar kamu menolak ta'aruf dengan saya?"

"Iya."

"Karena orang tuamu tidak setuju?"

"Iya."

"Tapi, tapi ... a- apa kamu tidak menyukai saya sama sekali?"

Saya? Kamu? Suka? Otakku beku mendengar kata-kata itu.

Keheningan yang tercipta setelahnya tidak berlangsung lama, karena terdengar teriakan Salma dan yang lainnya. Mereka datang semalam.

Pertanyaan itu masih belum terjawab, pasti dia akan menanyakannya kembali. Apa yang harus kujawab nanti?

Bang Satya: [Ane butuh jawaban secepatnya. Apakah anti ada perasaan ke ane? Kalau iya, ane bersedia menunggu satu tahun lagi.]

....

Dia wapri. Ya Allah, bagaimana ini?

~ bersambung.

Ta'aruf Ainul Mardhiah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang