"Bidadariku di mana, ya?“ Suara maskulin yang tiba-tiba muncul itu membuat semua menghentikan aktivitas."Ah, kamu di situ rupanya." Pak direktur datang dan langsung menghampiriku.
"Makan siang bareng, yuk," katanya. Kepalanya menunduk mencari mataku, tangannya bertumpu pada meja.
Mataku yang agak sipit pasti membulat sekarang. Syok!
Aku balas tatapannya, tidak lama. Langsung kualihkan, menebar pandang ke semua staf yang sedang memperhatikan kami. Kutelan ludah, membasahi kerongkongan yang mendadak kering.
"Ini sudah jam istirahat, ya?" cicitku.
"Belum, memang. Tapi aku udah laper. Yuk, Diah. Temenin, please ...." Kutatap lagi mata sang direktur yang mengejora.
Duh, dengan semua mata siaga begini, apa yang harus aku jawab. Kalau kutolak bagaimana? Sopan gak ya, semoga tidak apa-apa. Ingat pesan Bang Satya. Istiqomah, Diah! Mana mungkin aku makan berdua-duaan dengan laki-laki?
"Maaf sa- ...."
"Diah, ke ruangan saya sebentar." Bang Satya datang, memotong kalimatku.
"Oi, Sat! Diah mau gue ajak makan!“ cegah Haidar.
"Gak boleh!" katanya galak. "Ayo, Diah."
Kugeser kursi ke belakang, berdiri lalu menunduk pada Pak Direktur, berlari kecil mengejar langkah Bang Satya.
Merasa sedikit lega, walaupun sebenarnya tidak juga. Ibarat seperti keluar dari kandang singa, eh ketemu serigala. Sama-sama berbahaya untuk kesehatan jantung dalam dada!
Sampai di ruangan, aku melihatnya duduk di kursi hitam kecil yang memiliki sandaran dan bisa berputar. Ruangan ini tidak terlalu besar, hanya ada satu kursi lainnya di hadapan meja leter L Bang Satya. Ada hiasan kaligrafi di dinding dan rak buku berukuran sedang yang tinggi menjulang.
"Duduk," katanya. "Jadi, sudah sampai mana?"
“Apanya?“
"Ta'arufnya."
"Hah??"
"Bercanda. Tugas yang saya berikan sudah sampai mana?"
"Ya ampun, Bang. Baca satu buku aja belum selesai."
"Hadeuh ... Kita lagi banyak kerjaan. Kamu gak bisa jalan di tempat begitu." Bang Satya mengurut keningnya.
"Ini ada naskah untuk majalah bulanan anak-anak. Nesya yang tulis. Kamu coba edit sekarang. Nanti siang kamu presentasikan kesalahan apa aja yang ada di sana. Tandai mana saja yang kamu edit."
"Siap, Bang." Aku tersenyum senang, rasanya sangat bersemangat.
"Wapri alamat email kamu. Masih nyimpan nomor hp saya, kan?"
"Emm ... U-udah gak ada."
Bang Satya akhirnya menatapku. Sedari tadi dia bicara menghadap komputernya.
"Kamu hapus?"
Deg.
Lidahku kelu mau menjawab. Cuma bisa menunduk pasrah dengan wajah memerah.
Sekian detik dia menatap, lalu kembali hadap kiri, berbicara pada komputernya lagi. "Minta nomor hp saya sama yang lain. Jam satu nanti ada rapat di atas. Kamu ikut. Setelah itu baru kamu presentasi di depan saya. Jangan lupa buku-buku itu juga dibaca. Oh, ya. Satu lagi. Jangan gampang baper. Jangan merasa gak enakan. Kamu harus punya prinsip. Jangan plin-plan. Dah itu aja. Kamu boleh kembali sekarang."
"Permisi, Bang. Terima kasih," ujarku sambil keluar ruangan yang tak ditutup pintunya.
Jangan baper katanya. Apa itu. Kata gak baku! Tau aja dia, itu memang kelemahanku. Huh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ta'aruf Ainul Mardhiah
RomanceBayangannya muncul kembali. Sesak, aku menangis lagi. Selalu begini saat aku sendiri. Kubuka map coklat berisi biodata seorang ikhwan. Seorang laki-laki yang sudah membuatku sakit selama satu bulan. Ah, salah. Bukan dia penyebabnya, tapi rasa i...