Biasanya aku selalu menanti halaqoh pekanan, bersemangat untuk menuntut ilmu. Me-recharge ruhiyah, bertemu dengan orang shalih shalihah. Seharusnya selalu menjadi Sabtu yang syahdu, namun hari ini ada sebongkah rasa yang membelenggu.Terpaksa berdusta pada Mbak Mira, izin tidak hadir liqo karena nyeri haid. Sebenarnya kondisiku sudah jauh lebih baik dari kemarin. Aku hanya mencari-cari alasan saja. Kamu tahu, kata Ustazah, alasan itu berasal dari kata "alas" yang bisa diartikan hutan. Di dalam hutan itu kan banyak sekali isinya, itulah makna "alasan" sebenarnya, rupa-rupa bentuknya.
Sungguh, hari ini aku merugi melewatkan mengunjungi taman-taman surga (majelis ilmu). Tempat di mana malaikat selalu mengelilingi, mendoakan kebaikan, dan mengaminkan setiap doa yang terpanjatkan.
Aku merasa bersalah pada Mbak Mira, pada suaminya, juga terlebih pada Akh Teguh. Menolak orang yang sholeh, entah apa yang merasukiku. Astaghfirullahal'adzim ... aku menghela napas untuk kesekian kali.
Hari ini aku benar-benar ingin bersantai. Sebentaarr ... saja. Aku sedang menunggunya, Ratna! Kami punya janji nonton bareng, bukan di bioskop, tapi di laptop! Bisa jadi malam ini dia menginap untuk kesekian kali. Menghabiskan bonus kuota data internet untuk nonton maraton drama korea. Sejenak melupakan urusan dunia dan berbaper-baper ria.
Sebut saja aku sedang ... futur.
Suara ketukan pintu membuatku terlonjak dari satu-satunya kursi di dalam kamar yang sempit. Kuambil jilbab bergo kaos yang selalu tersampir di sandaran kursi plastikku. Semringah aku menyambut sahabat satu kamar kosanku dulu.
"Ratnaa, tumben ce-...."
Mataku terbelalak!
Itu bukan Ratna, tapi Oppa-Oppa Korea! Aku tidak salah lihat, kan??
Itu Bang Haidar!
"Hai, Assalamualaikum, Diah." Dia menatapku dari atas ke bawah, balik lagi ke atas. Gawat!
Refleks aku lari masuk lagi ke kamar!
Aku cuma pakai celana panjang dan kaos oblong tangan pendek barusan! Untung jilbab masih ingat dikenakan! Kaki? Tentu saja terbuka.
Sayup-sayup aku mendengar suara Ibu menyambut sang Direktur. Artinya dia masih di sana. Segera kuperbaiki penampilanku, bukan untuk bergaya, tapi untuk menjaga kulitku dari api neraka.
Menambal dengan rok jeans, kardigan, plus kaos kaki.
"Diah, ada tamu kok ditinggal?" kata Ibu.
Aku cuma garuk-garuk kepala yang tak gatal.
"Ibu buatkan minum sebentar, ya." Ibu langsung masuk, meninggalkanku berduaan.
Ada jeda mengudara.
"Kamu sudah sehat? Bapak kamu di rumah?" tanya Bang Haidar akhirnya.
"Sehat, alhamdulillah. Umh, Bapak Enggak ada, tadi pagi diajak temannya mancing."
"Oh, baiklah. Kita bicara di teras saja kalau begitu, sedang tidak ada laki-laki kan di rumahmu? Atau lain kali aku mampir lagi."
Kamu tahu, aku mendengarkannya bicara tapi tetap tak menatap matanya. Mataku malah fokus melihat salah satu lubang di sofa lawas kami, tepat di samping tempat duduknya.
"Ada Reyhan di kamarnya. Adik laki-laki saya yang masih SMA," tuturku datar.
"Oh, ya? Mana? Aku belum kenalan. Minta dia menemani kita ngobrol di sini aja."
Ya, Tuhan ... terbuat dari apa jantungnya, kenapa dia santai sekali bicaranya. Aku saja sudah panas dingin rasanya.
"Diah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ta'aruf Ainul Mardhiah
RomanceBayangannya muncul kembali. Sesak, aku menangis lagi. Selalu begini saat aku sendiri. Kubuka map coklat berisi biodata seorang ikhwan. Seorang laki-laki yang sudah membuatku sakit selama satu bulan. Ah, salah. Bukan dia penyebabnya, tapi rasa i...